“… Sama saja dengan membangun rumah; bila masyarakat tidak ikut membangun, ia hanya tidur di rumah tersebut tapi tidak tahu bagaimana merawatnya. (Julius Alberth Karay, dalam WIM Poli, 2006:97).
Premis:
Pembangunan Indonesia harus diarahkan pada pembangunan yang terintegrasi dan berkelanjutan (integrated and sustainable development) di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
1. Pendahuluan
Pembangunan Indonesia pada masa Orde Baru berkuasa menitikbertakan pada pembangunan di bidang ekonomi dengan ciri khas pertumbuhan ekonomi dengan tolok ukur tingkat GDP per kapita yang tinggi setiap tahun. Pola pembangunan semacam ini masih bersifat konvensional yang mengartikan keberhasilan pembangunan hanya pada meningkatnya investasi asing, komersialisasi dan privatisasi sector-sektro strategis yang melayani kebutuhan rakyat banyak. Fokus pembangunan pada bidang ekonomi ini bertujuan untuk menciptakan trickle-down effect hasil pembangunan ke pada masyarakat secara luas. Besarnya perhatian pemerintah dalam bidang ini menyebabkan pemerintah seolah ‘melupakan’ masalah sosial lain yang timbul seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dalam distribusi pendapatan serta kerusakan lingkungan akibat pembangunan di bidang ekonomi.
Masalah kemiskinan misalnya telah menjadi salah satu faktor penting rendahnya angka HDI Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir di antara negara-negara Asia Tenggara, apalagi jika dibandingkan dengan Jepang, China dan Korea. Pada tahun 2005 Indonesia hanya menduduki peringkat 110, dua peringkat di bawah Vietnam. Peringkat Indonesia naik pada tahun 2006 menjadi 108 setingkat lebih tinggi pada tahun 2007 (107), seperti yang digambarkan dalam tabel berikut (omitted).
Reformasi yang bergulir sejak Mei 1998 telah menyebabkan perubahan pada sebagian besar sendi-snedi kehidupan bangsa Indonesia dengan elemen-elemen reformasi seperti demokratisasi, desentralisasi dan pemerintahan yang bersih. Ketiga elemen utama ini telah memicu: (a). terciptanya hubungan baru antara pemerintah dengan masyarakat madni dan dunia usaha, (b). hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, (c). penciptaan transaparansi dan akuntabilitas, (d). partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan pembangunan. Dengan kata lain, reformasi telah menuntut perlunya pembaharuan dalam sistem perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan negara secara nasional (Suzetta, 2007).
Pembangunan nasional Indonesia harus mengakomodasi semua aspek kehidupan masyarakatnya (ekonomi, pendidikan, sosial budaya, politik dan lingkungan hiddup) dengan melibatkan semua elemen bangsa: pemerintah (pusat dan daerah), unsur swasta/LSM dan masyarakat itu sendiri. Pembangunan yang selama ini dilakukan hanya menitikberatkan pada satu aspek saja (ekonomi) dari kehidupan masyarakat yang kemudian menimbulkan efek negativ pada aspek hidup lainnya. Kesenjangan antara masyarakat kaya dengan miskin yang semakin lebar (akibat) pembangunan yang bersifat konglomeratif) menimbulkan masalah sosial seperti meningkatnya tindak kriminalitas adalah contoh kecil dari ekses pembangunan selama ini. Hal ini juga dapat dilihat pada aspek politik, seperti kebijakan pemerintah hanya menguntungkan segelintir orang saja, pemilihan kepala pemerintahan (pusat dan daerah) yang nantinya hanya akan mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang memberikan sumbangsih (terutama finansial) dengan melupakan janji-janji manis perbaikan taraf hidup rakyat miskin.
Pada akhirnya kondisi kemiskinan akan mempengaruhi rendahnya produktifitas, pendapatan, dan kurangnya modal (sisi permintaan) dan dari sisi penawaran akan menyebabkan rendahnya tabungan masyarakat karena rendahnya pendapatan sehingga tidak mampu berinvestasi. Hal ini akan menciptakan tiga lingkaran setan kemiskinan, dimana sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi merupakan dua istilah yang sinonim (Jhingan, 2007: 34).
Kondisi lingkungan hidup juga ikut terkena imbas negatif dari pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi semata. Pencemaran lingkungan (darat, laut/danau/sungai dan udara) akibat pembangunan pabrik-pabrik dan eksploitasi SDA yang berlebihan adalah harga yang harus dibayar mahal tidak saja oleh Indonesia tetapi juga masyarakat internasional. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena kegiatan ekonomi manusia selalu berinteraksi dengan SDA dan lingkungan hidup tempatnya berada, seperti yang digambarkan dalam skema berikut (omitted):
Dari skema di atas (omitted) jelas menunjukkan efek negatif dari aktifitas ekonomi manusia terhadap lingkungan hidu, yaitu rusaknya ekosistem udara, laut dan darat. Masa depan bumi akan terancam apabila pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan masih terus diterapkan oleh semua negara termasuk Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah “Mengapa pembangunan Indonesia harus diarahkan pada pembangunan yang terintegrasi dan berkelanjutan (integrated and sustainable development) di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup?”
3. Tinjauan Pustaka
Menurut UU no 25 tahun 2004, definisi Pembangunan Nasional adalah:
“upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara dan diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional.”
Paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi cepat (rapid growth economic) dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup telah menegasikan elemen pembangunan lainnya, seperti lingkungan hidup. Implikasinya, saat ini, kondisi lingkungan hidup telah bergeser yang semula sebagai elemen penopang pembangunan menjadi salah satu ancaman bagi hasil pembangunan itu sendiri baik terhadap generasi saat ini maupun yang akan datang (Subagiyo, 2008). Lebih jauh, menurut Reppeto & Gillis, 1988; Barber, 1989; Poffenberger, 1990, 1999; Peluso, 1992; Berdan dan Masimio, 1994; Nurjaya, 2001, kerusakan hutan tropis yang terjadi di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, misalnya, cenderung bersumber dari implementasi paradigma penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang didominasi negara (state-dominated forest control and management) semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (Nurjaya, 2008).
Kondisi lingkungan hidup juga ikut terkena imbas negatif dari pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi semata. Pencemaran lingkungan (darat, laut/danau/sungai dan udara) akibat pembangunan pabrik-pabrik dan eksploitasi SDA yang berlebihan adalah harga yang harus dibayar mahal tidak saja oleh Indonesia tetapi juga masyarakat internasional. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena kegiatan ekonomi manusia selalu berinteraksi dengan SDA dan lingkungan hidup tempatnya berada, seperti yang digambarkan dalam skema berikut (omitted):
Dari skema di atas (omitted) jelas menunjukkan efek negatif dari aktifitas ekonomi manusia terhadap lingkungan hidu, yaitu rusaknya ekosistem udara, laut dan darat. Masa depan bumi akan terancam apabila pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan masih terus diterapkan oleh semua negara termasuk Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah “Mengapa pembangunan Indonesia harus diarahkan pada pembangunan yang terintegrasi dan berkelanjutan (integrated and sustainable development) di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup?”
3. Tinjauan Pustaka
Menurut UU no 25 tahun 2004, definisi Pembangunan Nasional adalah:
“upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara dan diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional.”
Paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi cepat (rapid growth economic) dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup telah menegasikan elemen pembangunan lainnya, seperti lingkungan hidup. Implikasinya, saat ini, kondisi lingkungan hidup telah bergeser yang semula sebagai elemen penopang pembangunan menjadi salah satu ancaman bagi hasil pembangunan itu sendiri baik terhadap generasi saat ini maupun yang akan datang (Subagiyo, 2008). Lebih jauh, menurut Reppeto & Gillis, 1988; Barber, 1989; Poffenberger, 1990, 1999; Peluso, 1992; Berdan dan Masimio, 1994; Nurjaya, 2001, kerusakan hutan tropis yang terjadi di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, misalnya, cenderung bersumber dari implementasi paradigma penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang didominasi negara (state-dominated forest control and management) semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (Nurjaya, 2008).
Dengan demikian, pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat masa kini tanpa harus mengurangi potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat pada generasi – generasi masa mendatang (Suzetta, 2007; Kementrian Lingkungan Hidup, 2004). Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dimaksud adalah: (a). kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, (b). dengan menggunakan sumberdaya yang ada pada diri dan lingkungannya, (c). dengan tidak menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa depan, (d). menuju tingkat kehidupan yang lebih tinggi, (e) .dengan atau tanpa bantuan dari luar, (f). dalam batas hukum & HAM yang universal. (W.I.M. Poli, 2008).
Deklarasi Rio tahun 1992 yang dilahirkan dalam KTT Bumi (Earth Summit) menjadi tonggak keprihatinan dunia dalam menghadapi krisis pembangunan dan lingkungan. WSSD (World Summit on Sustainable Development) di Johannesburg tahun 2002 menegaskan strategi implementasi dari pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan menginginkan adanya pendistribusian hak-hak atas sumber daya alam dan lingkungan hidup secara adil baik bagi generasi saat ini maupun masa datang. Selain itu, konsep pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya integrasi kepentingan ekonomi, sosial, dan perlindungan daya dukung lingkungan hidup secara seimbang dan berkeadilan dalam pembangunanparadigma pembangunan menuju pembangunan yang berkelanjutan, berbasis rakyat, dan berkeadilan). Hal ini memerlukan tata pemerintahan yang baik dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam (Good Sustainable Development Governance-GSDG). Perwujudan GSDG menuntut 9 kondisi dalam tata pemerintahan, yaitu: 1) Adanya lembaga peradilan yang mandiri, profesional dan berintegritas, 2) Adanya lembaga perwakilan rakyat yang responsif dan menjalankan pengawasan secara efektif, 3) Adanya lembaga pemerintah yang transparan, partisipatif, dan bertanggungjawab, 4) Adanya desentralisasi yang demokratis dan lembaga perwakilan daerah yang efektif, 5) Adanya masyarakat sipil yang kuat, 6) Adanya mekanisme pencegahan, penanganan, dan pemulihan konflik, 7) Adanya pemberantasan kemiskinan melalui keterbukaan bagi akses masyarakat terhadap public resources secara berkeadilan, Adanya perubahan pola konsumsi dan produksi yang ramah lingkungan, dan 9) Adanya kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan berbasis pada keadilan rakyat (Subagiyo, 2008).
4. Fakta
a. United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) mengadakan pertemuan puncak tentang bumi (Earth Summit), di Rio de Janeiro, Brazil 1992, dihadiri wakil dari 179 negara. Inti pertemuan ini adalah membicarakan bagaimana memperdamaikan kegiatan sosial-ekonomi dengan kelestarian lingkungan alam dan berhasil menyepakati lima dokumen tentang: (a). Convention on Biological Diversity; (b). Framework Convention on Climatic change; (c). Principles of Forest Management; (d). Agenda 21; (e). The Rio Declaration on Environment and Development (Subagiyo, 2008).
b. Millenium Development Goal (MDG) adalah upaya dunia internasional untuk menanggulangi kemiskinan dan menjamin pembangunan berkelanjutan, telah ditandatanganinya oleh para kepala Negara dalam Deklarasi Milenium dengan nama atau tujuan pembangunan milenium yang bertujuan mengurangi setengah dari jumlah kemiskinan global pada tahun 2015.
c. Subagiyo, 2008:
1· Departemen Kehutanan RI: kerusakan hutan pada saat ini telah mencapai kondisi memprihatinkan, dimana laju kerusakan hutan tahun 1998-2000 telah mencapai 3,8 juta Ha/tahun. Sedangkan estimasi Forest Watch Indonesia (FWI) menyatakan laju kerusakan hutan tahun 2001-2003 telah mencapai angka 4,1 juta Ha/tahun. Jika dihitung dalam angka 2 juta Ha/tahun saja, berarti tiap menitnya kerusakan hutan telah mencapai 3 hektar atau sama dengan 6 kali luas lapangan bola (Subagiyo, 2008).
2· Berdasarkan hasil riset Oseanologi LIPI, kekayaan hayati laut Indonesia pada tahun 2005 tercatat tinggal 5,83% (kategori sangat baik), 25% (baik), 26,59% (sedang) dan 31% lainnya mengalami kerusakan. Sedangkan di sektor pertambangan cadangan mineral yang ada pada saat ini t hanya bertahan untuk 18 tahun ke depan.
3· Di sektor udara, hasil pengukuran kualitas udara di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Jambi, dan Pekanbaru, udara dalam kategori baik selama satu tahun hanya berkisar 22-62 hari atau 17 % saja. Kadar pencemar udara di kota-kota tersebut 37 kali lipat di atas standar yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). Implikasinya, sebagai contoh kualitas udara di Jakarta masyarakat dapat menghirup udara dengan kategori baik rata-rata hanya 22 hari dalam 1 tahun. Luas lahan kritis terus meningkat dimana pada tahun 2000 mencapai 23,2 juta hektar.
4· Pada tahun 1997-1998: kebakaran hutan dan lahan besar-besaran hingga berimbas sampai ke negara sekitar. Sejak saat itu, kebakaran hutan dan lahan terus berulang setiap tahunnya sampai saat ini.
5· Pada tahun 2000: longsornya overburden penambangan PT. Freeport Indonesia di Danau Wanagon, Irian Jaya (Papua) yang menyebabkan meluapnya material (sludge, overburden, dan air) ke Sungai Wanagon dan Desa Banti yang letaknya berada di bawah danau.
6· Tahun 2001: terjadi ledakan tangki PT. Petrokomia Gresik yang mengakibatkan terganggunya kesehatan warga sekitar.
7· Tahun 2002: banjir Jakarta yang hampir melumpuhkan seluruh aktivitas masyarakatnya serta terulang lagi dengan wilayah terdampak yang lebih besar di tahun 2007. Pada tahun 2003 publik dikejutkan dengan kejadian longsor di Mandalawangi-Jawa Barat.
8· Pada tahun 2004-2005: muncul permasalahan kebijakan pertambangan di hutan lindung dan kasus pencemaran Teluk Buyat. Pada tahun 2006 sederatan bencana lingkungan seperti banjir dan longsor terjadi di sejumlah daerah seperti Jember dan Banjarnegara. Masih di tahun yang sama, sektor industri juga menambah panjang permasalahan lingkungan hidup di Indonesia, seperti kasus semburan Lumpur Lapindo Sidoarjo maupun illegal dumping limbah B3 di Cikarang-Bekasi.
5. Metode
Menurut Soemarwoto (1986) yang dikutip oleh Nurjaya (2008), Inti permasalahan pengelolaan sumber daya alam adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekologi. Konsep sentral dalam ekologi disebut ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan alam lingkungannya (saling mempengaruhi dan dan saling ketergantungan satu dengan yang lainnya). Menurut ecosystem approach, ekosistem terbentuk oleh komponen sumber daya alam hayati maupun non hayati pada suatu ruang dan tempat, yang berinteraksi dan membentuk kesatuan yang teratur dan saling mempengaruhi, sehingga secara terintegrasi membentuk suatu sistem kehidupan dalam alam semesta ini. Terkait dengan hal ini, manusia adalah komponen makhluk hidup yang paling sentral dan krusial, karena manusia adalah bagian dari unsur makhluk hidup yang paling sempurna dibanding makhluk hidup yang lain (satwa dan tetumbuhan). Manusia memiliki hati nurani, dianugerahi kemampuan untuk berpikir, berkehendak, bersikap, berbicara, maupun bertindak dan berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia mengamati dan melakukan adaptasi serta memperoleh pengalaman, dan kemudian mempunyai wawasan tertentu tentang lingkungan hidupnya (enviromental image), yang menggambarkan persepsi manusia tentang struktur, mekanisme, dan fungsi lingkungannya, juga interaksi dan adaptasi manusia termasuk respons dan reaksi manusia terhadap lingkungannya. Pola berpikir inilah kemudian membentuk etika lingkungan (environmental ethic) dalam kehidupan manusia (lihat gambar 3, omitted).
Citra lingkungan dapat didasarkan pada ilmu pengetahuan seperti terpola dalam masyarakat ilmiah di negara-negara maju, (alam pikiran yang bercorak rasionalistik dan intelektualistik). Namun, dari sisi lain citra lingkungan lebih dilandasi oleh sistem nilai dan religi di negara-negara sedang berkembang. Karena itu, yang disebut pertama dikenal sebagai citra lingkungan masyarakat modern sedangkan yang disebut terakhir dikenal sebagai citra lingkungan masyarakat tradisional (Nurjaya, 2008).
Amandemen UUD 1945 di era reformasi telah mengamanatkan setidaknya dua perspektif penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup: (a). munculnya pengakuan terhadap keberlanjutan dan wawasan lingkungan dalam penyelenggaraan perekonomian nasional; (b). munculnya pengakuan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia sekaligus hak konstitusi dari warga negara. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban: (a). menghormati (to respect); (b). memenuhi (to fulfill); (c). melindungi (to protect) atas hak lingkungan sebagai HAM. Jadi Dua prespektif ini semakin mempertegas tanggungjawab pemerintah secara konstitusional untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari perwujudan HAM. Hal ini dipertegas pula dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (Subagiyo, 2008).
6. Kesimpulan
6. Kesimpulan
Pembangunan Indonesia yang diarahkan pada penerapan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjamin tercapainya pertumbuhan di bidang ekonomi, terjaganya kondisi sosial masyarakat dan lingkungan hidup.
No comments:
Post a Comment