Wednesday, August 13, 2008

CRITICAL REVIEW ...3

UNEMPLOYMENT AND PRODUCTIVITY GROWTH: AN EMPIRICAL ANALYSIS WITHIN AN AUGMENTED SOLOW MODEL
Economic Modelling, Vol. 19, 2002, pp. 105 – 120
Michael Bräuninger, Markus Pannenberg

1. Pendahuluan
Apakah tingkat pengangguran memiliki dampak terhadap tingkat pertumbuhan dalam jangka panjang. Tingkat pengangguran yang tinggi secara persisten di Erope selama dua dekade terakhir mengindikasikan bahwa pengangguran, setidaknya pada tingkat yang lebih besar, bukanlah fenomena siklus bisnis semata. Hal ini mengimplikasikan penyia-nyiaan secara kontinu dari tenaga kerja dan modal SDM di sebagian besar negara di Eropa. Pengangguran adalah masalah serius di Eropa tapi tidak di AS. Namun, penurunan pertumbuhan produktifitas lebih kuat di AS selama beberapa dekade terakhir di abad ke-20, dimana pada antara tahun 1979 – 1997 tingkat pengangguran rata-rata adalah 6,7 persen dan pertumbuhan produktifitas rata-rata adalah 9,3 persen di AS.
Sedangkan di Eropa tingkat pengangguran rata-rata adalah 9,3 persen dan pertumbuhan produktifitas rata-rata adalah 2,2 persen. Angka ini dapat mengindikasikan trade-off antara pengangguran dan pertumbuhan produktifitas. Argumen utama kedua penulis adalah bahwa pengangguran mengurangi produksi dan pendapatan sehingga akumulasi modal fisik dan modal melalui pengurangan tabungan, pengeluaran pendidikan dan pelatihan. Oleh karenanya, pengangguran dapat berpengaruh secara negatif terhadap produktifitas dan pertumbuhan produktifitas dalam jangka panjang, seperti dalam penelitian Bean dan Pissarides (1993).

2. Pengangguran dalam model Augmented Solow
Dengan menggunakan kerangka teori pertumbuhan tunggal, fokus peneliti adalah pada pengaruh pengangguran (ekulibrium) dalam jangka panjang terhadap pertumbuhan produktifitas. Berdasarkan penelitian Layard, et.al, 1991), penulis mengasumsikan bahw pengangguran ekuilibrium ditentukn oleh sistem asuransi pengangguran yang dermawan dan dengan penyusunan institusional, seperti ukuran dan kekuatan serikat pekerja dan sistem negosiasi. Dengan asumsi yang masuk akal secara empiris bahwa return dari menjadi penganggur adalah proporsional terhadap pendapatan tenaga kerja dan karenanya terhadap produktifitas, dimana determinan ini tidak secara langsung mempengaruhi pertumbuhan produtktifitas.
Dalam jangka pendek, penawaran tenaga kerja diukur dalam unit efisiensi sebagai N tertentu, semua pekerja diasumsikan sama-sama efisien. Pengangguran mengurangi input tenaga kerja dalalm produksi: L = (1 - u)N. Modal yang tersedia sama seperti kondisi teknologi dari perekonomian adlah tertentu. Perusahaan menggunakan modal fisik K dan tenaga kerja L untuk memproduksi produk homogen Y. Fungsi produksi diasumsikan sebagai tipe Cobb-Douglas: Y = KαLα-1 dengan 0 < α < 1. Maksimisasi profit mengimplikasikan bahwa produk marjinal dari modal sama dengan tingkat bunga, r = αY/K dan produk marjinal dari sebuah unit efisiensi tenaga kerja sama dengan upah untuk unit efisiensi tenaga kerja, w1 = (1 – α)Y/L. Penawaran tenaga kerja dalam unit eifsiensi: . Efisiensi tenaga kerja awal tergantung dari kemajuan teknik atau pada pelatihan: , dimana memenuhi pengaruh pelatihan. Fungsi produksi: .
Produktifitas diartikan sebagai produksi per tenaga kerja yaitu: , yang dimasukkan dalam persamaan fungsi produksi kemudian dibagi dengan sehingga diperoleh: .
Untuk mendapatkan upah tenaga kerja, share tenaga kerja dibagi dengan jumlah tenaga kerja: . Sedangkan tingkat pertumbuhan modal fisik:
. Modal SDM di augmented dengan pendidikan, dengan tingkat pertumbuhan modal SDM:
.
Dari persamaan tingkat pertumbuhan modal fisik dan modal SDM menjadi jelas bahwa peningkatan dalam tingkat pengangguran mengurangi tingkat pertumbuhan modal fisik dan SDM.
Dalam jangka panjang, perekonomian menjadi konvergen ke kondisi stabil, dimana modal dan produksi bertumbuh dengan tingkat yang sama, Y = K. Dengan mentransformasi fungsi produksi ke tingkat pertumbuhan, maka dua kondisi terjadi: a). dengan 0<=β <=1; 0 <=γ<=1 , tingkat pertumbuhan yang stabil ditentukan oleh tingkat eksogen dari kemajuan teknologi dan pertumbuhan populasi , b). dengan β = 1 atau γ = 1 , constant return to factor yang dapat diakumulasi dan karenanya garis pertumbuhan endogen yang seimbang dengan Y = K = H.
Jadi dalam jangka pendek kenaikan pengangguran akan mengarah pad peningkatan dalam modal per tenaga kerja. Karena itu, produktifitas dan upah meningkat, tetapi pendapatan berkurang. Hal ini mengarah pada penurunan dalam tabungan dan pengeluaran untuk pendidikan. Sebagai akibatnya, tingkat pertumbuhan modal fisik dan SDM berkurang dan pertumbuhan produktifitas juga berkurang. Akibat jangka panjang tergantung pada ukuran pengaruh modal SDM dan pelatihan dalam fungsi produksi: 1).Ketika modal SDM tidak menjadi masalah dan tidak terdapat pelatihan, pertumbuhan produktifitas kembali pada tingkat eksogen tertentu. Lebih dari itu, bahkan tingkat produktifitas tidak terpengaruh dalam jangka panjang; 2). Ketika tenag kerja kasar produktif dan bahkan modal SDM produktif juga atau terdapat pelatihan, pertumbuhan produktifitas kembali pada tingkat eksogen. Tetapi, penurunan transitor dalam pertumbuhan produktifitas mengurangi tingkat produktifitas dalam jangka panjang. 3). Ketika terdapat pertumbuhan endogen baik melalui pelatihan yang komplit maupun melalui akumulasi modal SDM, tingkat pertumbuhan produktifitas menurun ke tingkat kondisi stabil yang baru. Sehingga, diperoleh pengurangan permanen dalam pertumbuhan produktifitas.

3. Spresikasi Empiris dan Data
Untuk menguji pengaruh pengangguran terhadap pertumbuhan akan diaugment regresi pertumbuhan standar dengan tingkat dan perubahan dari laaged unemployment rate, seperti yang disarankan oleh model peneliti. Spesifikasi umum dari regresi pertumbuuhan sebagai suatu dynamic two-way fixed effect model: . Dengan menggunakan lagged values dari semua variabel eksplanatori, semua endogenitas dapat dikurangi.
Penelitian ini menggunakan data 13 negara OECD (Australia, Belgia, Kanada, Finlandia, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Spanyol, Swedia, Inggris dan AS) dari tiga sumber data. GDP riil per tenaga kerja sebagai pengukuran untuk produktifitas tenaga kerja, share investasi dari GDP dalam persentase sebagai proksi untuk tingkat tabungan, stock modal per tenaga kerja (semuanya konstan pada harga internasional 1985) dan rata-rata pertumbuhan populasi diperoleh dari Penn World Table version 5.6.
Tingkat pengangguran negara OECD menstandardisasi tingkat pengangguran. Proksi yang dilakukan peneliti untuk stock modal SDM negara adalah persentase dari penerimaan sekolah lanjutan dalam total populasi berumur 15 tahun ke atas, yang diperoleh dari data set the Barro dan Lee (1996). Lagged tingkat pengangguran diambil sebagai rata-rata selama 5 tahun preceding t – τ. Dari tabel A dalam appendiks memperlihatkan statistik deskriptif untuk semua variabel yang digunakan dalam analisis empiris. Dalam data peneliti ini the log averaged unemployment adalah berkorelasi secara negatif dengan pertumbuhan produktifitas seperti yang diindikasikan oleh keseluruhan koefisien korelasi dari ρ = -0,47 (p = 0,001),country-specific correlation coefficient dari pengangguran dan pertumbuhan produktifitas berkisar antara -0,83 (Belanda) – 0,10 (Inggris). Kecuali Inggris, semua negara memiliki koefisien korelasi spesifik yang negatif.

4. Hasil
Dengan menggunakan analisis dinamis dari rfelasi bivariat antar tingkat produktifitas dan lagged unemployment menggunakan LSDV dan GMM estimator. Argumen peneliti adalah bahwa pertumbuhan produktifitas dapat dikurangi dengan kenaikan pengangguran melalui pengurangan tabungan dan pengeluaran pendidikan. Oleh karenanya, peneliti juga melakukan analisis bivariat korelasi antara lagged unemployment dengan modal fisik dan lagged unemployment dengan modal SDM per tenaga kerja. Penggunaan LSDV dan GMM estimator memperlihatkan bahwa parameter yang diestimasi untuk lagged unemployment kedua-duanya secara signifikan negatif. Sehingga diperoleh korelasi yang negatif antara lagged unemployment dan pertumbuhan produktifitas, yang sesuai dengan model peneliti. Selanjutnya, parameter yang diestimasi dari pengaruh jangka pendek dari pengangguran secara signifikan negatif. Oleh karenanya, dalam penelitian 5 tahun ini, pengaruh positif sebenarnya dari kenaikan dalam pengangguran terhadap pertumbuhan produktifitas adalah secara total terjadi karena proses penyesuaian berikut. Korelasi antar lagged unemployment dan modal per tenaga kerja secara signifikan negatif dan lebih besar dari negatif supportive evidence untuk hubungan bahwa kenaikan pengangguran bergerak bersama dengan penurunan dalam akumulasi modal.
Terkait dengan the different Wald statistic, spesifikasi panel dari model peneliti nampaknya tepat, dimana statistis BP mengindikasikan adanya heteroskedastisitas dalam data peneliti. Dengan mempertimbangkan statistik m2, tidak terdapat bukti untuk korelasi serial dalam disturbansi dalam model peneliti.
Pada langkah kedua, peneliti melakukan perluasan versi dari regresi pertumbuhan standar augmented yang diperkenalkan oleh Mankiw, et. al (1992). Peneliti menggunakan tingkat pengangguran (daripada tingkat angkatan kerja) untuk menganalisis pengaruh pengangguran secara langsung dan memperkenalkan ad hoc the change in the averaged unemployment rate dan rata-rata pertumbuhan tingkat pengangguran lebih dari 5 tahun untuk menangkap dinamis jangka pendek:
Parameter yang diestimasi untuk lagged level of unemployment kedua-duanya secara signifikan negatif. Dengan demikian, peneliti melihat pengaruh negatif dari lagged level of unemployment terhadap produktifitas, seperti yang dijabarkan dalam model peneliti. Elastisitas jangka panjang implied dari produktifitas yang terkait dengan pengangguran kira-kira -0,08; yang mengindikasikan bahwa pengangguran betul-betul memiliki pengaruh jangka panjang yang besar terhadap produktifitas dalam data peneliti: karena pengangguran di beberapa negara kira-kira meningkat dua kali lipat selama periode penelitian, estimasi peneliti mengimplikasikan bahwa produktifitasnya saat ini akan berkisar 8 - 10 persen lebih tinggi dari apabila tidak ada kenaikan dalam pengangguran. Estimasi parameter untuk h tidak pernah secara signifikan berbeda dari nol, dimana hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Islam (11995) dan Caselli et,al (1996). Hasil ini dapat terjadi karena kesalahan pengukuran (Krueger dan Lindahl, 1999).
Lebih jauh, terkait dengan dinamis jangka pendek ditemukan hubungan positif dari pertumbuhan produktifitas dan perubahan pengangguran seperti yang diprediksi oleh model peneliti. Parameter estimasi dari lagged level of productivity secara signifikan negatif, yang sesuai dengan hasil pengujian kointegrasi. Tetapi, peneliti tidak menemukan hubungan yang signifikan antara lagged unemployment dan pertumbuhan produktifitas dengan menggunakan kerangka GMM, sehingga peneliti hanya menemukan sebagian bukti pendukung untuk korelasi negatif jangka panjang dari pengangguran dan produktifitas. Selain itu, peneliti menemukan korelasi negatif yang signifikan antara lagged unemployment dan pertumbuhan dari modal per tenaga kerja dalam data peneliti. Hasil-hasil ini sesuai dengan estimasi peneliti yang disajikan dalam tabel 1 (dalam artikel).

5. Kesimpulan
Untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah pengangguran mempengaruhi produktifitas dalam jangka panjang, peneliti menggunakan keseimbangan pengangguran kedalam generalized augmented Solow-type growth model. Model tersebut memperlihatkan bahwa dalam kerangka neoklasik kenaikan dalam ekuilibrium pengangguran mengurangi tingkat produktifitas jangka panjang apabila pengangguran memiliki pengaruh terhadap efisiensi tenaga kerja – baik melalui pendidikan atau pelatihan (learning by doing). Dalam kerangka pertumbuhan endogen pengangguran mengurangi pertumbuhan produktifitas.
Dengan menggunakan data dari 113 negara OECD dalam kerangka dat panel dinamis, peneliti menemukan bukti yang mendukung untuk hipotesis konvergensi kondisional yang mengimplikasikan pertumbuhan neoklasik dan untuk pengaruh negatif dari tingkat pengangguran terhadap tingkat produktifitas. Namun, analisis empiris peneliti tidak menyediakan bukti apapun untuk pengaruh sekolah formal terhadap produktifitas. Terkait dengan data yang digunakan peneliti, pengaruh negatif dari kenaikan dalam pengangguran terhadap tingkat produktifitas adalah terjadi karena tabungan yang berkurang, akumulasi modal dan learning-by-doing.


6. Critical Review
Kedua penulis melakukan penelitian mengenai tingkat pengangguran dan pertumbuhan produktifitas dengan menggunakan model Augmented Solow dengan membandingkan kedua variabel tersebut di Uni Eropa dan Amerika Serikat (13 negara OECD) selama lima tahun. Gambar berikut menunjukkan bahwa masalah pengangguran adalah persoalan serius di negara Eropa daripada di AS. Namun penurunan pertumbuhan produktifitas lebih kuat terjadi di Amerika Serikat.


Menurut kedua penulis, tingginya tingkat pengangguran di Eropa selama dua dekade terakhir menunjukkan bahwa hal ini bukanlah semata fenomena siklus bisnis. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Daveri, et.al (2000) bahwa dalam periode jangka panjang dua trend terkait dengan tingkat pengangguran yang muncul di negara Uni Ropa dan Amerika Serikat bukanlah semata hanya fluktuasi siklus bisnis, tetapi merefleksikan kecenderungan jangka panjang. Selama 30 tahun terakhir, tingkat pengangguran di negara Uni Eropa adalah 7 persen dibanding dengan 1,3 persen di AS. Hal ini diikuti oleh penurunan pertumbuhan GDP per kapita di kedua negara, namun pertumbuhan yang melambat lebih jelas terlihat di Uni Eropa daripada di AS (Daveri, et.al, 2000). Hasil ini menunjukkan realitas sebaliknya dari penelitian Bräuninger dan Pannenberg yang menyatakan bahwa penurunan pertumbuhan produktifitas justru lebih kuat terjadi di AS.
Kesamaan kedua penelitian (Bräuninger-Pannenberg dan Daveri, et.al) adalah pada obyek penelitian (negara-negara yang sama yang termasuk dalam OECD) mengenai kaitan tingkat pengangguran dan pertumbuhan. Selain itu, kedua penelitian menggunakan model Augmented Solow dalan menganalisis hubungan antara kedua variabel dan tingkat pengangguran menggunakan tingkat pengangguran yang distandardisasi OECD. Tetapi penulis artikel ini menggunakan LSDV dan kerangka GMM estimator, sedangkan penelitian Daveri, et.al menggunakan metode OLS.
Kesimpulan yang diambil oleh penulis artikel bahwa dalam jangka pendek terdapat hubungan yang positif antara perubahan pengangguran dan pertumbuhan produktifitas, tetapi berkorelasi negatif dalam jangka panjang. Sementara Daveri, et.al menemukan bahwa trend yang meningkat dalam tingkat pengangguran di Uni Eropa lebih disebabkan oleh terjadinya pertumbuhan yang melambat. Hal ini terjadi karena kedua hal tersebut berakar dari penyebab umum yang sama: pertumbuhan yang cepat dan besarnya biaya tenaga kerja, yang disebabkan oleh pajak yang lebih tinggi yang dibayar oleh tenaga kerja. Tingkat pajak efektif atas pendapatan buruh di negar-negar Uni Eropa meningkat dari 28 persen (1965 – 1970) menjadi 42 persen (1991 – 1995). Selama periode yang sama, rata-rata tingkat pengangguran naik dari 2, 1 persen menjadi 10,5 persen, tingkat pertumbuhan GDP per kapita turun (4,2 menjadi 1 persen), juga share investasi terhadap GDP turun dari 3 persen (27,5 menjadi 24,5 persen). Peningkatan pajak sebesar itu menyebabkan naiknya pengangguran sebesar 4 persen, pertumbuhan melambat sebesar 3 persen poin serta turunnya share investasi 3 persen per tahun.
Terlebih lagi apabila upah disusun oleh serikat buruh yang kuat dan terdesentralisasi menyebabkan tingginya pajak tenaga kerja bergeser ke upah riil yang lebih tinggi. Hal ini kemudian menyebabkan dua hal: a). mengurangi permintaan tenaga kerja yang akhirnya meningkatkan pengangguran, b). karena perusahaan mengganti tenaga kerja dengan modal sehingga marjinal produk untuk modal turun. Hal ini kemudian, menurunkan insentif untuk melakukan investasi dan pertumbuhan dalam periode jangka panjang.
Hal ini lebih jauh, dapat berdampak pada standar hidup masyarakat, seperti penelitian yang dilakukan oleh Mankiw, et.al (1992) di 98 negara OECD yang juga memperhitungkan pengaruh variabel modal fisik dan modal SDM dalam kontribusinya terhadap pendapatan. Variabel modal fisik dan modal SDM (selain tenaga kerja kasar) juga dimasukkan dalam analisis yang dilakukan oleh Bräuninger-Pannenberg ini. Menurut Mankiw, et.al (1992), elastisitas pendapatan terkait dengan stock modal fisik tidak berbeda secara substansial dengan share modal dalam pendapatan. Menurut penulis artikel, dalam jangka pendek meningkatnya pengangguran akan meningkatkan modal per tenaga kerja, sehingga upah dan produktifitas meningkat namun pendaptan justru menurun. Akibatnya modal fisik dan modal SDM menurun. Sedangkan akibat jangka panjang akan tergantung pada pengaruh modal SDM dan learning-by-doing dalam fungsi produksi ( ). Kesimpulan yang sama dikemukakan oleh Mankiw, et. al (1992) bahwa fungsi produksi Y=K1/3K1/3L1/3 konsisten dengan hasil empiris.
Penelitian yang dilakukan oleh Bean dan Pissarides (1993) di 14 negara OECD menyatakan bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan dan pengangguran memiliki hubungan yang negatif. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa korelasi bivariat antar-negara antara tingkat pengangguran dan pertumbuhan dapat bersifat negatif atau positif tergantung dari sumber perbedaan dalam struktur ekonomi antar negara obyek penelitian. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ledesma (2000) yang menggunakan unit root test panel of ADF dan (Phillip-Perron) tentang tingkat pengangguran di Uni Eropa (12 negara) dan AS (15 negara bagian) menyatakan bahwa tingkat pengangguran yang persisten lebih tinggi terjadi di negara-negara Uni Eropa daripada di AS. Blanchard dan Quah (1989) juga keberadaan disturbansi permintaan agregat dan penawaran agregat menyebabkan pengangguran dan dinamis output, dimana faktor pertama memiliki pengaruh yang permanen.
Dengan menggunakan metode dan alat analisis yang berbeda, penelitian Bräuninger-Pannenberg tentang hubungan pengangguran dengan pertumbuhan produktifitas (terutama di negara-negara OECD di Uni Eropa dan AS) sesuai dengan model yang digunakan berdasarkan hasil analisis empiris dan mendukung hasil penelitian sebelumnya.

CRITICAL REVIEW ...2

HOW WELL DOES THE AGGREGATE DEMAND – AGGREGATE SUPPLY FRAMEWORK EXPLAIN UNEMPLOYMENT FLUCTUATION A FRANCE-UNITED STATES COMPARISON
Economic Modelling, Vol. 19, 2002, hal. 153-177
Yann Algan, Sorbonne University

1. Pendahuluan
Artikel ini mengkritisi kemampuan kerangka AD-AS tradisional untuk menjelaskan fluktuasi pengangguran dalam tiga dekade belakangan ini. Model SVAR digunakan untuk mengestimasi tingkat pertumbuhan dari produktifitas tenaga kerja, inflasi dan pengangguran pada data AS dan Perancis. Dengan membatasi penelitian pada identifikasi jangka panjang, fluktuasi pengangguran terkait dengan permintaan agregat – penawaran agregat konvesional dan dengan inovasi residual pelengkap. Hasil ini mempertanyakan konvensional sebelumnya bahwa heterogenitas dalam pengalaman pengangguran terletak pada magnitude shock agregat atau pada mekanisme penyebaran informasi dan membutuhkan penjelasan alternatif.
Penjelasan trend meningkat pada tingkat pengangguran Perancis sementara tingkat pengangguran AS secara parsial tetap tidak beraturan selama tiga dekade adalah tantangan yang terus ada untuk teori makroekonomi. Hal ini menyebabkan timbulnya keraguan terhadap kemampuan kerangka permintaan agregat – penawaran agregat (AD – AS) tradisional yang menjadi tolak ukur umum untuk menjelaskan fluktuasi pengangguran.
Berdasarkan arguman sintesis makroekonomi klasik konvesional dan Keynesian, fluktuasi pengangguran utamanya didorong oleh shocks (kejutan) AD – AS dalam kombinasi dengan beberapa inertia dalam proses penyesuaian. Sementara perubahan kecil dalam permintaan dapat memiliki pengaruh riil dalam konteks rigiditas nominal seperti kontrak upah yang tetap model Taylor (1979), shock penawaran lebih mempengaruhi tingkat pengangguran sepanjang upah riil tidak menyesuaikan untuk menghapus pasar tenaga kerja. Interpretasi tersebut cocok untuk menjelaskan peningkatan pengangguran AS dan Perancis selama tahun 1970an dan awal tahun 1980an. Kedua negara menderita peningkatan pengangguran dalam periode yang lebih lama. (dari 2 persen menjadi 8 persen) dan secara berturut-turut dihantam shocks permintaan dan penawaran yang negatif seperti melambatnya produktifitas faktor produksi dan pengetatan kebijakan moneter. Namun, perubahan agregat diharapkan hanya memiliki pengaruh jangka pendek terhadap pengangguran. Sekali upah nominal dan upah riil menyesuaikan dengan tingkat inflasi yang baru atau tingkat lebih rendah dari pertumbuhan produktifitas, pengaruh dari shock agregat akan hilang. Hal ini terjadi AS ketika tingkat pengangguran mulai menurun pada pertengahan 1985, tetapi tidak terjadi di Perancis.
Teka-teki ini menghasilkan dua kelompok teori. Kelompok teori pertama tetap menggunakan kerangka AD-AS sebagai tolok ukur. Tetapi pengaruh shock agregat lebih lama di Perancis karena penyesuaian yang lambat pada pasar tenaga kerja. Argumen ini didasarkan pada teori hysteresis Blanchard dan Slummer (1986) yang mengklaim bahwa shock agregat lebih bertahan lama di negara-negara Eropa daripada di AS karena pengaruh insider-outsider. Selain itu, Perancis dipengaruhi oleh shock agregat suplementaris sedangkan AS bertahan dalam kondisi baik seperti peningkatan yang tajam pada tingkat suku bunga pada akhir tahun 1980an (Fitoussi dan Phelps, 1988).
Kelompok kedua (alternatif) fokus pada shock pasar tenaga kerja yang lebih spesifik. Secara khusus, kerangka makrodinamis terbaru didasarkan pada model job-search (Pissarides, 1990) dan model wage setting-price setting (WS-PS) memberikan fondasi mikro bagi fluktuasi pengangguran. Model job-search menghubungkan pengangguran dengan ketidaksempurnaan dalam proses penentuan tenaga kerja karena biaya transaksi dan ketidakcocokan potensial. Teori ini sesuai dalam menghasilkan kontribusi pekerja tak terlatih terhadap tingginya pengangguran struktural yang bertahan lama di Eropa. Tetapi, model WS-PS fokus pada ketidaksempurnaan mikroekonomi dalam proses penentuan upah. Upah dibuat sebagai keuntungan atas upah reservasi dan bergantung pada parameter kunci seperti tingkat penggantian dan tunjangan pengangguran, upah minimum dari posisi tawar serikat buruh. Dalam konteks tersebut perubahan dalam penentuan institusional pengangguran dan upah mengarah pada pergeseran lambat yang permanen dalam tingkat pengangguran. Dalam prespektif ini, Nickell (1997) mengklaim bahwa karakteristik pasar tenaga kerja negara-negara Eropa telah mengalami reformasi utama selama tiga dekade terakhir sementara hal ini tetap stabil di AS.

2. Fakta dasar
a. Evolusi pengangguran
Perbedaan yang tajam antara evolusi pengangguran di AS dan Perancis didasarkan pada kondisi pertengahan tahun 1980an. Selama periode 1970an kedua negara menderita peningkatan yang regular dalam tingkat pengangguran yang mencapai 8 persen pada tahun 1984. Namun, sementara tingkat pengangguran Perancis tetap meningkat sejak saat itu, tingkat pengangguran di AS justru menurun dan kembali seperti pada tingkat awal tahun 1970an. Pada kuartal pertama tahun 1998 tingkat pengangguran di Peranci sebesar 12,2 persen sedangkan di AS sebesar 4,4 persen. Padahal tingkat partisipasi tenaga kerja AS mengalami trend meningkat sedangkan tingkat partisipasi Perancis hampir sama nilainya dengan yang terjadi pada tahun 1970an (kira-kira 68 persen). Jadi, tingkat pengangguran di Perancis tidak dapat dijelaskan oleh pergeseran penawaran tenaga kerja eksogen.
b. Bukti empiris dari shock AD-AS
Tingkat pengangguran mulai meningkat pada tahun 1970an, dimana fokus utama ditujukan pada konsekuensi dari kenaikan harga minyak yang besar terhadap tingkat pengangguran. Karena pengangguran tetap meningkat, maka perhatian dialihkan pada penjelasan lain yang didasarkan pada penurunan pada tingkat pertumbuhan Total Produktifitas Faktor, yang mendekati angka 4 persen pada akhir tahun 1960an, angka ini menurun ke angka 2 persen pada pertengahan kedua tahun 1970an di kedua negara. Penurunan tingkat TPF ini mempengaruhi tingkat pengangguran sepanjang upah riil tidak menyesuaikan diri pada tingkat upah baru yang lebih rendah. Tingkat pertumbuhan TPF di Perancis terus menurun dari 1,2 persen menjadi 0,5 persen selama keseluruhan periode, tingkat pertumbuhan TPF di AS mulai pulih pada tahun 1980 dan kembali pada nilai awalnya kira-kira 0,5 persen pada tahun 1998. Namun tingkat pertumbuhan TPF yang menurun / melambat tidak menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran di Perancis selama dua dekade terakhir.

c. Shock Permintaan
Dua sumber utama perubahan shock permintaan negatif nampaknya memiliki peran penting dalam fluktuasi pengangguran. Sumber pertama lebih spesifik terjadi di Perancis dan terdiri dari kontraksi fiskal utama yang dilakukan negara ini dalam rangka unifikasi moneter Eropa. Sumber kedua terkait dengan kontraksi moneter yang tajam yang diberlakukan di kedua negara selama tahun 1980an.
AS memegang peranan memimpin dalam hal pengetatan kebijakan moneter pada akhir tahun 1970an . Namun setelah pemerintahan Mauroy (1981-1984) prioritas juga ditujukan pada pengurangan inflasi di Perancis, dimana Perancis harus berusaha menyesuaikan kebijakan moneternya dengan kebijakan moneter AS yang ketat setelah periode itu. Jadi, selama inflasi diperhitungkan, kedua negara akan mengalami shock permintaan nominal yang sama.
Namun respons pengangguran terhadap perubahan permintaan agregat berbeda di kedua negara. Di AS, terjadi desinflasi yang berkaitan penurunan tingkat pengangguran yang progresif sementara di Perancis memperlihatkan trend meningkat.
Hasil ini agak membingungkan karena diharapkan shock permintaan agregat tidak mempengaruhi ekuilibirum tingkat pengangguran. Hal ini dijelaskan oleh Blanchard dan Wolfers (1999) yang menekankan fakta bahwa kebijakan moneter yang longgar tahun 1970an menunda pengaruh negatif dari penurunan/pelambatan TPF. Kemudian pengetatan dalam kebijakan makroekonomi pada tahun 1980an membrikan kontribusi pada tingginya pengangguran selama dekade ini. Selain itu, pengaruh dari keberadaan kondisi hysteresis yang potensial, dimana Blanchard dan summer (1996) menyatakan bahwa shock permintaan yang temporer dapat memiliki pengaruh permanen terhadap tingkat pengangguran dalam konteks dimana upah dinegosiasikan bertujuan untuk menyelamatkan pekerjaan ‘insiders’. Kemudian dengan menurunkan jumlah insiders, shock negatif (adverse shock) yang meningkatkan pengangguran akan meningkatkan tingkat upah ekuilibrium dan karenanya memiliki pengaruh yang lebih persisten (bertahan lama).

3. Model Analisis
Penulis menggunakan pendekatan Structural Vector Autoregression (SVAR) berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Blanchard dan Quah (1989) yang menggunakan kendala jangka panjang untuk mengidentifikasi inovasi reduced form sebagai shock structural. Tetapi kedua peneliti ini hanya fokus pada kontribusi shock AD-AS terhadap fluktuasi pengangguran, sedangkan penulis memperkenalkan penjelasan orthogonal residual dengan memperbesar ukuran VAR. Penulis menggunakan tingkat pertumbuhan pengangguran dan dua variabel kunci yang lebih mengakomodasi perubahan utama dari permintaan dan penawaran selama periode tersebut, yaitu tingkat pertumbuhan produktifitas tenaga kerja dan tingkat pertumbuhan inflasi. Dengan menggunakan pendekatan SVAR pada data AS dan Perancis untuk periode 1970-1998, penulis menemukan bahwa shock residual tidak banyak menjelaskan fluktuasi pengangguran di AS sementara shock residual ini menjadi bagian utama dari fluktuasi pengangguran di Perancis.
Penulis menggunakan kendala jangka panjang Blanchard – Quah (1989) untuk mengidentifikasi dua permintaan agregat – penawaran agregat dan residual orthogonal perturbation, dengan mengestimasi model VAR (konstan dan dummy dihilangkan untuk penyederhanaan): . Sedangkan untuk World moving average yang merupakan representasi dari model VAR adalah: dengan . Karena inovasi memasuki vektor dapat berkorelasi secara kontemporer, , vketor ini tidak dapat dipertimbangkan sebagai vektor dari structural shocks. Namun, dapat diekspresikan sebagai kombinasi linear dari sebuah vektor structural shocks sedemikian sehingga (setelah normalisasi): . Dengan mengidentifikasi matriks s (3x3), maka dapat diestimasi struktur alternative dari representasi moving average: , dimana . Untuk memilih S yang unik, dua relasi digunakan yaitu dan dan persamaan ini memberikan enam kendala, sedangkan memberikan tiga kendala.

4. Hasil empiris
a. Pengaruh dinamis dari shock penawaran agregat dimana pola respon pengangguran di kedua negara memiliki kesamaan dan mengikuti respon dari produktifitas tenaga kerja. Tingkat pengangguran menurun secara perlahan di kedua negara selama enam triwulan dan stabil pada level yang baru. Pengaruh negatif dari perubahan penawaran terhadap pengangguran didorong oleh keberadaan rigiditas riil. Upah riil tidak menyesuaikan diri secara cepat terhadap perubahan dalam tingkat produktifitas tenaga kerja mendorong naiknya permintaan tenaga kerja dan tingkat angkatan kerja. Fakta bahwa kedua tingkat pengangguran tidak kembali ke kondisi awal menguatkan bukti keberadaan pengaruh hysteresis yang disarankan oleh model insiders-outsiders (Blanchard dan Summers, 1986).

b. Pengaruh dinamis dari shocks permintaan nominal dimana divergensi paling menarik terjadi pada respon pengangguran terhadap nominal inovasi . Pada dasarnya tingkat pengangguran di kedua negara menurun seperti yang diprediksikan dalam kerangka AD-AS, namun garis keyakinan interval jelas menunjukkan bahwa pengaruh shock nominal terhadap tingkat pengangguran di Perancis tidak signifikan sama sekali. Sebaliknya, inovasi permintaan yang positif menurunkan tingkat pengangguran secara tajam dan memiliki pengaruh kumulatif sepanjang waktu di AS.

Perbedaan yang tajam ini menyiratkan keberadaan rigiditas nominal pada kasus di AS daripada di Perancis, dimana hal ini dapat dijelaskan bahwa upah dengan cepat menyesuaikan diri dengan tingkat inflasi yang baru di Perancis dan tidak terjadi di AS. Fakta lain yang mendukung karena kontrak upah berlaku selama 3 tahun di AS sementara di Perancis upah direnegosiasi setiap tahun.

c. Terkait dengan shock residual dari fluktuasi pengangguran dimana memberikan kontribusi besar dalam peningkatan tingkat pengangguran di Perancis sementara pengaruhnya di AS tidak signifikan selama periode tersebut.

5. Kesimpulan
Artikel ini mempertimbangkan kembali kontribusi realtif dari shock AD-AS terhadap fluktuasi pengangguran di AS dan Perancis. Penelitian menyimpulkan bahwa shock residual pelengkap (supplementary residual shock) berpengaruh secara permanen terhadap tingkat pengangguran di Perancis daripada di AS.
Kerangka AD-AS sangat sesuai diterapkan di AS sebaliknya tidak dapat menjelaskan kondisi pasar tenaga kerja di Perancis. Artikel ini juga menyimpulkan bahwa trend pada pengangguran di Perancis tidak disebabkan oleh pengaruh yang lebih persisten dari shock AD-AS sehingga bertolak belakang dengan hasil penelitian Blanchard dan Summers (1986) yang menyimpulkan bahwa pasar tenaga kerja Eropa menunjukkan pengaruh hysteresis daripada di AS. Penelitian ini juga memperluas penelitiannya tidak hanya pada kerangka AS-AD tetapi juga pengaruh shock residual terhadap tingkat pengangguran.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa proses employment setting and wage setting yang memperlihatkan pengaruh yang kecil dari shock permintaan nominal di Perancis daripada di AS. Hasil penelitian ini mendukung penerapan kurva Phillips di AS sementara proses wage setting nampaknya lebih sesuai diterapkan di Perancis.

6. Critical Review
Penelitian yang dilakukan oleh Yann Algan ini melihat terjadinya fluktuasi pengangguran di Perancis dan AS menggunakan variabel tingkat pertumbuhan produktifitas tenaga kerja, inflasi dan kerangka permintaan agregat – penawaran agregat dalam menjelaskan fluktuasi pengangguran di kedua negara tersebut. Algan menyatakan bahwa tingginya tingkat pengangguran yang persisten dalam jangka panjang lebih banyak terjadi di Perancis daripada di AS membuktikan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Bräuninger dan Pannenberg (2002) dan Ledesma (2000).
Penelitian Blanchard dan Summers (1986) membuktikan bahwa sejak awal tahun 1970an, sebagian besar negara Eropa barat menderita akibat tingginya tingkat pengangguran yang menunjukkan trend meningkat, dimana rigiditas dengan kontrak tenaga kerja dengan waktu yang tetap (fixed) atau biaya penyesuaian harga atau kuantitas menjadi faktor terbesar penyebab tingginya tingkat pengangguran di Eropa. Pengalaman pengangguran di Eropa mendorong pertimbangan teori alternatif ‘hyteresis’ yang menghimpun kemungkinan bahwa peningkatan pengangguranmemiliki pengaruh langsung terhadap tingkat pengangguran alami (Natural Rate of Unemployment – NAIRU). Blanchard dan Summers mengeksplorasi secara teoritis dan empiris mengenai ide hysteresis makroekonomi – yaitu tingkat pengangguran yang secara substansial persisten ini dan pengaruh dari shocks (permintaan dan penawaran) terhadap tingkat pengangguran.

Hal menarik yang membedakan antara adalah pasar tenaga kerja lebih stabil di AS daripada di Perancis, dengan kontrak tenaga kerja paling sedikit tiga tahun dibanding Perancis yang dinegosiasikan setiap tahun. Selain itu, kuatnya serikat buruh di Perancis memberikan kontribusi bagi persistensi tingginya tingkat pengangguran di negara tersebut. Pada fluktuasi pengangguran di Perancis terdapat asimetris yang mendasar dari proses wage-setting antara insiders (tenaga kerja yang telah bekerja) dengan outsiders (pencari kerja). Dengan demikian, outsiders ‘dirugikan’ karena upah ditetapkan dengan tawar menawar antara perusahaan dan insiders yang menguntungkan insiders karena posisi tawar serikat buruh (dimana insiders sebagai anggota) menjamin pekerjaan tersebut bagi insiders.
Fakta mengenai tingkat inflasi dan tingkat pengangguran (digambarkan oleh kurva Phillips) turut membuktikan analisis Algan bahwa kerangka AD – AS lebih dapat menjelaskan fluktuasi pengangguran daripada fluktuasi yang terjadi di Perancis. Selain itu Blanchard dan Wolfers (1999) menekankan fakta bahwa kebijakan moneter yang longgar di tahun 1970an mengakibatkan tertundanya pengaruh kebalikan (adverse effects) dari melambatnya total produktifitas faktor tenaga kerja, kemudian implementasi kebijakan moneter yang ketat pada tahun 1980an menyebabkan terjadinya tingkat pengangguran yang lebih tinggi selama dekade tersebut. Penjelasan lain terletak pada kehadiran pengaruh hysteresis dengan melihat shock permintaan temporer memiliki pengaruh permanen terhadap tingkat angkatan kerja dalam konteks dimana upah disusun oleh perusahaan yang bernegosiasi dengan tenaga kerjanya (insiders), persisten yang terjadi karena penyusunan upah ini karena shocks merubah angkatan kerja dan keanggotaan dalam kelompok insiders (serikat buruh), sehingga mempengaruhi strategi negosiasi selanjutnya. Dengan menurunkan jumlah insiders, adverse shocks yang mendorong naiknya pengangguran akan meningkatkan ekuilibirum tingkat upah sehingga memiliki pengaruh yang lebih persisten. Sebaliknya Blanchard dan Quah (1993) menyatakan bahwa disturbances yang terjadi pada sisi penawaran memiliki pengaruh yang permanen terhadap tingkat pengangguran.
Algan juga menemukan bahwa dalam jangka panjang, tingkat pengangguran yang lebih tinggi di negara Eropa, salah satunya adalah Perancis tidak semata-mata karena fenomena siklus bisnis, sama seperti yang dikemukakan oleh Bräuninger dan Pannenberg (2002) dan Daveri, et. al (2000). Dengan menggunakan SVAR (Structural Vector Auto Regression) Algan menganalisis residual orthogonal shocks yang mencakup fluktuasi pengangguran yang tidak dibahas oleh Blanchard dan Summers (1986) yang menganalisis shocks yang disebabkan oleh AD – AS. Secara spesifik analisis residual shocks ini mencakup shock penawaran tenaga kerja atau realokasi inovasi yang telah dianalisis oleh Dolado dan Jimeno (1997) dan Jacques dan Langot (1993), yang juga mempengaruhi perubahan dalam parameter institusional yang memasukkan pengangguran dan proses wage-setting yang memiliki pengaruh permanen terhadap tingkat pengangguran. Hal yang mengejutkan adalah jenis perturbations ini tidak pernah dikuantifikasi dengan menggunakan pendekatan SVAR. Selain itu, Blanchard dan Quah (1989) juga menyatakan keberadaan disturbansi permintaan agregat dan penawaran agregat menyebabkan pengangguran dan dinamis output, dimana faktor pertama memiliki pengaruh yang permanen. Penelitian Blanchard dan Quah ini mendukung hasil penelitian Blanchard dan Summers (1986).

CRITICAL REVIEW ...

MONEY, INTEREST, AND PRICES:
SOME INTERNATIONAL EVIDENCES
International Review of Economics and Finance,
Vol. 14, 2005, pp. 129 – 147
Magda Kandil, IMF, Washington DC

1. Pendahuluan
Tingkat bunga dan harga adalah variabel penting dalam makroekonomi yang kadang dimonitor oleh ekonom dan pembuat kebijakan. Sebagian besar penelitian terkait dengan hubungan antara kedua variabel ini difokuskan pada pengaruh harga terhadap tingkat bunga, hanya sedikit yang mempertimbangkan pengaruh perubahan dalam tingkat bunga terhadap harga. Hasil penelitian ini kontradiksi dan seringkali membingungkan, yang disebabkan sebagiannya karena kompleksitas dari saluran teoritis yang menjelaskan pengaruh tingkat bunga terhadap harga.
Terdapat beberapa saluran teoritis dimana peningkatan tingkat bunga diharapkan meningkatkan harga, naiknya tingkat bunga akan mengurangi keinginan masyaratakat untuk memiliki non-interest bearing money. Kurangnya permintaan uang menghasilkan tingginya tingkat harga. Selain itu, tingkat bunga yang lebih tinggi meningkatkan biaya sehingga mendorong naiknya harga pada sisi penawaran. Tingkat pengembalian bunga yang lebih tinggi juga merepresentasikan peningkatan pendapatan bagi pemberi pinjaman, pemilik tabungan deposit dan pemilik obligasi, memungkinkan mereka meningkatkan pengeluarannya dan yang kemudian mendorong naiknya harga dari sisi permintaan. Namun, monetaris (seperti pernyataan Milton Friedman: ‘inflation is always and everywhere a monetary phenomenon’) menyatakan bahwa untuk peningkatan tingkat bunga yang menghasilkan pengaruh positif yang signifikan terhadap tingkat harga, maka harus diiringi dengan ekspansi moneter (seperti yang dikemukakan oleh Ritter dan Silber, 1984). Hal ini berarti bahwa naiknya tingkat bunga selama periode kebijakan moneter ketat tidak bersifat inflasioner. Keunikan uang dalam menjelaskan inflasi menjadikan ciri utama pembeda antara monetaris dengan aliran lain dalam makroekonomi. Uang adalah unik dalam hal bahwa pertumbuhan moneter diperlukan untuk mempertahankan inflasi harga.
Beberapa pendekatan telah dilakukan dalam literature dalam mengevaluasi aspek berbeda yang membedakan aliran monetaris. Studi yang dilakukan beragam mulai dari penekanan teknik VAR multivariat sampai pada pengembangan model teoritis dan statistik yang membedakan monetaris dari aliran utama makroekonomi. Artikel ini meneliti validitas monetaris terkait dengan relevansi pertumbuhan moneter terhadap inflasi harga pada negara-negara industri utama. Penelitian ini berfokus pada dua pertanyaan: a). apa pengaruh relative dari pergerakan dalam kuantitas uang dibandingkan dengan tingkat bunga nominal dalam perubahan harga? dan b). apa pengaruh pertumbuhan moneter terhadap hubungan antara perubahan tingkat bunga dan harga?Untuk menjawab pertanyaan ini maka studi ini menggunakan sebuah pengujin yang bertujuan untuk membedakan pengaruh perubahan pada tingkat bunga terhadap perubahan harga selama periode pertumbuhan moneter yang ekspansioner dan non-ekspansioner. Bukti inflasi akan dievaluasi dalam dua hal: a). signifikansi pengaruh kontemporer dari perubahan tingkat bunga terhadap perubahan harga, b). prolonged respon yang signifikan dari perubahan dalam harga terhadap perubahan tingkat bunga sepanjang waktu.

2. Pengaruh tingkat bunga terhadap harga: Latar belakang teoritis
Saluran dimana perubahan pada tingkat bunga akan mempengaruhi tingkat harga dalam model makro standar dapat dibedakan menjadi saluran permintaan dan penawaran. Model makroekonomi sederhana memperlihatkan hubungan utama antar variabel dalam perekonomian (rumus, omitted):
Dalam perekonomian ini, sisi permintaan terdiri dari dua pasar: pasar barang dan pasar uang. Permintaan barang terdiri dari tiga komponen utama: pengeluaran konsumsi (C), pengeluaran investasi swasta (I), dan pengeluaran pemerintah (G). Persamaan 1 menggambarkan konsumsi sebagai sebuah fungsi dari pendapatan disposable. Persamaan 2 menggambarkan pajak, persamaan 3 memiliki komponen otonom dan sebuah komponen yang bervariasi dalam merepon terhadap tingkat bunga real, r. Persamaan 4 menggambarkan pengeluaran pemerintah sebagai eksogen, persamaan 5 memperlihatkan kondisi ekuilibrium dalam pasar barang dimana output yang ditawarkan, Y sama dengan total pendapatan yang ditentukan oleh jumlah tiga komponen permintaan terhadap barang. Persamaan 6 – 9 menggambarkan pasar uang dalam perekonomian, dimana dalam persamaan 6 permintaan terhadap keseimbangan uang riil (M/P)D, tingkat bunga nominal dijelaskan dalam persamaan 7, penawaran uang dalam perekonomian digambarkan dalam persamaan 8 dan kondisi ekuilibirum dalam pasar uang digambarkan dalam persamaan 9. Permintaan agregat diperoleh dari kombinasi persamaan 1 – 9 (omitted):
Kombinasi persamaan permintaan agregat dan penawaran agregat, determinan perubahan tingkat harga dengan asumsi bahwa dY*=0, sebagai berikut : dimana perubahan tingkat harga, dp, tergantung pada faktor demand – pull dan cost – push. Faktor demand – pull termasuk peningkatan dalam pengeluaran pemerintah, peningkatan dalam pengeluaran konsumsi, atau peningkatan dalam pengeluaran investasi. Selain itu, demand – pull dapat diterkait dengan faktor yang mendorong pada penawaran uang berlebihan dalam pasar uang. Hal ini termasuk peningkatan dalam penawaran uang ( ), penurunan dalam permintaan uang ( ), atau peningkatan dalam ekspektasi inflasi ( ). Faktor cost – push adalah berakar pada sisi penawaran perekonomian, peningkatan biaya dan penurunan output, yaitu upah yang lebih tinggi, dan harga bahan baku yang lebih tinggi dan input lainnya dalam proses produksi.

3. Model Empiris
Langkah pertama dalam membentuk model empiris adalah mengujia stasioneritas variabel dalam model empiris tersebut, dimana regresdi OLS univariat diestimasi untuk menguji representasi yang tepat dari komponen trend (trend-stationary vs difference-stationary). Berdasarkan pengujian unit root augmented Dickey-Fuller, prosedur pengujian melibatkan hipotesis dari trend-stationary vs difference-stationary dalam sebuah model umum. Dengan menentukan bahwa setiap differenced series dalam model berikut adalah stasioner, persamaan regresi diuji untuk kointegrasi melalui beberapa tahap. Model empiris dalam bentuk stasionernya:
Untuk menggambarkan pengaruh pertumbuhan moneter terhadap hubungan antara harga dan tingkat bunga, maka perlu dibedakan periode t dalam estimasi model empiris (periode sampel dikomposisikan dalam dua sub periode: periode ekspansi (notasi x) dan non-stasioner ekspansi (notasi c) pertumbuhan moneter sebagai berikut:
Kriteria untuk ekspansi moneter adalah adalah mengisolasi periode dimana pertumbuhan moneter kemungkinan memiliki pengaruh yang besar terhadap harga. Peningkatan dalam tingkat pertumbuhan dari penawaran uang diharapkan berkontribusi positif terhadap output riil dan inflasi harga. Periode pertumbuhan moneter ekspansioner adalah periode dalam mana tingkat pertumbuhan penawaran uang melebihi pertumbuhan output riil. Periode pertumbuhan moneter non-ekspansioner adalah periode dalam mana tingkat pertumbuhan penawaran uang lebih kecil daripada output riil.
Dalam teori, tingkat bunga adalah endogen terhadap perubahan dalam sistem ekonomi yang dibuktikan oleh beragam negara dengan hasil dari pengujian formal oleh Engle (1982). Selain itu, penawaran uang adalah endogen di beberapa negara. Untuk memperhitungkan endogenitas ini, model empiris diestimasi dengan menggunakan 2SLS. Pengujian Engle diaplikasikan untuk mendeteksi kehadiran korelasi serial dalam model yang diestimasi. Untuk beberapa negara, hasilnya menunjukkan bahwa residu yang diestimasi dari model empiris mengikuti proses autoregresi dari order 4 yang menyebabkan koreksi terhadap korelasi serial yang dibutuhkan untuk negara ini (Belgia, Kanada, Perancis, Irlandia, Swiss, dan Inggris). Data diperoleh dari 15 negara industri maju: Australia, Austria, Beliga, Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Norwegia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat. Periode sampel bervariasi antar negara berdasarkan ketersediaan data (1957 – 1999).

4. Hasil Empiris
Hasil empiris dibagi dalam dua tahap, dimana tahap pertama memperlihatkan bukti jangka pendek dengan bukti a). pengaruh kontemporer perubahan dalam penawaran uang dan tingkat bunga terhadap harga, b). variasi dalam pengaruh dari tingkat bunga terhada harga berdasarkan pada kedudukan kebijakan moneter: ekspansioner atau kontraksi.

a. Uang, tingkat bunga dan harga: Bukti dalam jangka pendek
Persamaan 13 dan 19 (dalam artikel) menyediakan hasil yang dibutuhkan untuk mengevaluasi hubungan kontemporer antara inflasi harga dan perubahan dalam penawaran uang dan tingkat bunga. Persamaan 13, parameter tingkat bunga sentral adalah x1 dan x2, yang memperkirakan pengaruh perubahan dalam tingkat bunga nominal dan penawaran uang dalam inflasi harga. Monetaris menyarankan bahwa pertumbuhan moneter adalah determinan utama dari perubahan harga, dinotasikan sebagai ‘monetary hypothesis of inflation’ sehingga monetaris mengharapkan bahwa x2 adalah positif secara ketat. Lebih lanjut, monetaris mengharapkan bahwa jika x1 dalam persamaan 13 adalah signifikan (dengan magnitude positif atau negatif), maka xd dalam persamaan 19 secara ketat adalah negatif. Hal ini terjadi xd mendiferensiasi pengaruh perubahan dalam tingkat bunga terhadap tingkat harga selama periode dari pertumbuhan moneter ekspansioner dan non-ekspansioner. Nilai xd yang negatif dan signifikan konsisten dengan klaim monetaris bahwa kenaikandalam tingkat bunga memiliki pengaruh yang lebih positif (atau kurang memiliki pengaruh negatif) dalam inflasi harga selama periode pertumbuhan moneter yang ekspnasioner. Perubahan dalam tingkat bunga nominal memiliki pengaruh signifikan terhadap harga di Australia, Kanada, Perancis, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Norwegia, Swiss, Inggris dan AS. Kecuali untuk Italia dan Inggris, kenaikandalam tingkat bunga meningkatkan harga. Hasil untuk Italia dan Inggris adalah konsisten dengan kemungkinan teoritis bahwa kenaikandalam tingkat bunga memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan agregat, yang selanjutnya pada harga.

Tetapi hasil di atas bukan merupakan suatu kesimpulan dari validitas ‘monetary hypothesis of inflation’. Pendukung hipotesis ini menyatakan bahwa pengaruh inflasioner dari tingkat bunga nominal terkonsentrasi selama periode pertumbuhan moneter yang tinggi. Tanda dan signifikansi dari parameter xd mengevaluasi validitas empiris dari hipotesis. Signifikansi xd terjadi di Australia, Jerman, dan AS, dimana pengaruh perubahan tingkat bunga terhadap harga selama periode ekspansi moneter lebih besar dari pengaruh inflasioner dari tingkat bunga sepanjang waktu. Jumlah dari x1 dan xd yang mengukur pengaruh perubahan dalam tingkat bunga terhadap harga selama periode pertumbuhan moneter non-ekspansioner adalah negatif hanya di Perancis dan AS. Terlepas dari pengurangan yang signifikan dalam pengaruh inflasioner dari tingkat bunga selama periode pertumbuhan moneter non-ekspansioner di Australia dan Jerman, pengaruh tetap positif yang dibuktikan dengan jumlah parameter x1 dan xd. Secara keseluruhan, parameter xd yang negatif dan signifikan di Australia, Perancis, Jerman dan AS mendukung ‘monetary hypothesis of inflation’. Sedangkan untuk negara lain, dimana signifikan x1 dan dan xd tidak signifikan, bukti tidak membedakan pengaruh inflasioner tingkat bunga selama periode pertumbuhan moneter ekspansioner dan non-ekspansioner. Konsekuensinya, bukti ini tidak membangun validitas empiris dari ‘monetary hypothesis of inflation’ secara umum.

b. Uang, tingkat bunga dan harga: Bukti dalam jangka panjang
Bukti dalan jangka panjang mengkhawatirkan persistence dalam pengaruh inflasioner dalam penawaran uang dan tingkat bunga nominal. Monetaris mengklaim bahwa sementara kenaikandalam tingkat bunga nominal memiliki peengaruh positif yang signifikan terhadap inflasi harga, pengaruh inflasioner memiliki pengaruh yang one-time daripada pengaruh kontinu dalam ketiadaan peningkatan dalam pertumbuhan moneter. Untuk menyediakan bukti dari validitas hipotesis ini, hasil dari mengestimasi transformasi distributed-lag dari persamaan 13 disajikan di bawah (omitted):
Pada persamaan ini harga adalah fungsi perubahan saat ini dan masa lalu dalam tingkat bunga nominal, penawaran uang dan energy of price. Untuk menggambarkan persistence dalam penyesuaian harga, transformasi distributed-lag dari persamaan 19 diestimasi sebagai berikut:
Berdasarkan estimasi pada parameter dari model empiris dalam persamaan 20 perubahan dalam penawaran uang, parameter, secara bersama signifikan terhadap harga di Australia, Austria, Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, Italia, Islandia, Irlandia, Jepang dan Inggris.Kecuali Denmark dan Jepang, perubahan tingkat bunga, parameter secara bersama signifikan dalam menentukan harga. Untuk negara Kanada, Norwegia, Swiss dan AS, hanya lags dari tingkat bunga nominal secara bersama signifikan dalam menjelaskan harga. Konsekuensinya, estimasi model empiris dalam persamaan 20 mendukung ‘monetary hypothesis of inflation’ hanya untuk Jepang dan Denmark dimana harga bervariasi secara signifikan dalam merespon current and lagged monetary growth dan perubahan dalam tingkat bunga nominal tidak secara bersama signifikan.
Namun, pendukung ‘monetary hypothesis of inflation’ menyatakan kemungkinan bahwa pengaruh inflasioner dari current and lagged changes dalam tingkat bunga nominal dapat dibatasi pada periode pertumbuhan moneter ekspansioner. Estimasi persamaan 21 memberikan bukti dimana koefisien dalam istilah interaksi, secara bersama signifikan dan jumlahnya adalah negatif dan lebih besar daripada jumlah parameter untuk Norwegia. Hal ini konsisten dengan pengaruh negatif yang bertahan lama bahwa kenaikantingkat bunga dalam harga di Norwegia selama periode pertumbuhan moneter non-ekspnasioner. Juga terdapat beberapa bukti tentang pentingnya istilah interaksi dalam diferensiasi koefisien pada lag kedua dari istilah interaksi adalah negatif dan secara statistic signifikan, variasi lag adalah secara bersama signifikan dalam menjelaskan harga di AS, namun jumlah tidak negatif.

Untuk menyimpulkan, didasarkan pada pertumbuhan moneter tidak mendiferensiasi pengaruh inflasioner dari tingkat bunga nominal dalam jangka panjang dan sepanjang waktu untuk banyak negara dalam penelitian ini. Pengecualian adalah terjadi di Perancis dan AS, pengaruh inflasioner kontemporer dari tingkat bunga adalah positif selama periode dari pertumbuhan moneter ekspansioner dan negatif untuk kondisi sebaliknya. Untuk Australia dan Jerman, pengaruh inflasioner kontemporer positif dari tingkat bunga nampaknya lebih moderat selama periode pertumbuhan moneter non-ekspansioner dibanding periode ekspansioner. Beberapa lagged pengaruh inflasioner dalam tingkat bunga di AS juga nampaknya lebih berpengaruh selama periode pertumbuhan moneter ekspansioner. Selain itu, akumlasi pengaruh inflasioner tingkat bunga di Norwegia sepanjang tahun adalah bukti positif selama periode pertumbuuhan moneter ekspansioner dan negatif untuk kondisi sebaliknya.



5. Kesimpulan
Perubahan dalam tingkat bunga nominal dan penawaran uang adalah determinan penting dari harga dalam model makroekonomi standar. Namun aliran monetaris telah menyatakan bahwa keunikan pertumbuhan moneter dalam menentukan inflasi harga. Yaitu monetaris menekankan bahwa pengaruh inflasioner dari tingkat bunga tidaklah signifikan selama periode pertumbuhan moneter yang bersifat kontraksi; yaitu kenaikandalam tingkat bunga dalam merespon penawaran dan/atau faktor permintaan non-moneter tidak diharapkan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap inflasi harga, seperti yang dinyatakan oleh aliran monetaris.
Artikel ini menyediakan tes formal yang bertujuan menverifikasi validitas dari klaim aliran monetaris tradisional dengan data dari 15 negara industri maju. Bukti tidak mendukung keunikan pertumbuhan moneter dalam menjelaskan inflasi harga. Inflasi yang lebih tinggi diatributkan pada kenaikandalam pertumbuhan moneter dan/atau kenaikan dalam tingkat bunga nominal di banyak negara. Lebih jauh, hasil analisis tidak menyediakan dukungan kuat bagi klaim monetaris bahwa pengruh tingkat bunga terhadap inflasi harga tergantung pada arah pertumbuhan moneter. Hanya terbukti untuk sedikit negara bahwa pengaruh inflasioner dari tingkat bunga nominal berbeda untuk periode pertumbuhan moneter ekspansioner dan non-ekspansioner. Secara kontinu, perubahan dalam tingkat bunga dalam merespon penawaran dan permintaaan non-moneter adalah determinan penting dari perubahan harga di banyak negara.
Pernyataan Friedman tentang ‘inflation is always and everywhere a monetary phenomenon’ mensyaratkan kita untuk menyadari bahwa ‘monetary phenomenon’ tidak hanya merujuk pada pergerakan dalam jumlah uang tetapi juga faktor yang mempengaruhi keinginan masyarakat untuk memiliki uang (permintaan uang). Perubahan dalam tingkat bunga nominal adalah determinan utama permintaan uang. Beberapa perubahan dalam tingkat bunga diatributkan pada penawaran uang, faktor permintaan dan penawaran penting lainnya tidak dapat diabaikan dalam hal ini seperti yang diklaim aliran monetaris. Perubahan dalam tingkat bunga dalam merespon faktor ini menentukan perubahan harga. Dengan menekankan relevansi faktor non-moneter terhadap permintaan uang, monetaris dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap inflasi harga. Hanya melalui intrepretasi ini dimana ‘monetary hypothesis of inflation’ didukung dengan bukti empiris antar negara, dimana artikel ini berkontribusi pada bukti tersebut.

6. Critical Review
Penelitian Wilcox (1983) mengestimasi hubungan antara tingkat bunga, inflasi yang diharapkan dan real forces untuk melihat pengaruh tingkat inflasi terahdap tabungan, investasi, distribusi pendapatan dan redistribusi kekayaan. Wilcox menyimpulkan bahwa tingkat bunga riil turun pada tahun 1970an dalam merespon penurunan penawaran barang komplementer yang digunakan proses produksi. Meningkatnya harga input produksi menyebabkan profitabilitas modal serta permintaan terhadap modal turun. Rendahnya tingkat pertumbuhan stock modal dan pada saat yang bersamaan investasi juga menurun menyebabkan turunnya tingkat bunga riil. Model yang digunakannya memprediksi bahwa kebijakan fiskal yang ekspansioner bersama dengan penurunan pertumbuhan uang dalam jangk panjang yang menekan expected inflation akan meningkatkan tingkat suku bunga riil setelah pajak. Jadi, dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Wilcox menyimpulkan bahwa harga mempengaruhi tingkat suku bunga. Hasil ini kontradiksi dengan penelitian Barsky dan DeLong (1991) yang menyatakan bahwa perubahan tingkat bunga mempengaruhi harga. Tetapi penelitian Kandil dalam artikel ini mendukung hasil analisis Wilcox bahwa perubahan tingkat bunga dalam merespon penawaran dan permintaan non-moneter adalah determinan penting dari perubahan harga di banyak negara.
Di lain pihak, Obstfeld (2002) melihat peran kebijakan moneter dalam perekonomian terbuka dalam menganalisis pengaruh tingkat bunga terhadap harga. Menurutnya kesimpulan yang diambil dapat terjadi sebaliknya ketika harga relative yang dihadapi oleh perusahaan domestik sebagai konsumen adalah insencitive terhadap perubahan tingkat nilai tukar, meski sensitivitas ini tidak mengimplikasikan secara kuantitatif sensitifitas kebijakan moneter terhadap nilai tukar. Sermentara itu Orphanides (2002) menekankan peran kebijakan moneter dalam kondisi inflasi yang tinggi. Usaha kebijakan (moneter) yang dikonsentrasikan melalui targeting economy’ elusive full employment potential. Namun secara paradoks, sementara pembuat kebijakan menfokuskan diri pada mempertahankan kestabilan harga, hasil yang lebih baik dalam angkatan kerja dan kestabilan harga dapat terjadi. Namun tetap disadari bahwa kebijakan stabilisasi harga tetap terbatas dalam masalah inflasi. Lebih lanjut, penelitian Fahmy dan Kandil (2003) memperlihatkan hasil analisis tidak mendukung pengaruh jangka pendek dari Fischer theory karena tingkat bunga jangka pendek terkait dengan perubahan yang diabaikan dalam expected inflation. Tetapi secara keseluruhan, bukti dari analisisnya mendukung teori Fischer, yaitu bahwa inflationary premium meningkat seiring dengan meningkatnya durasi dari aset finansial, sehingga dapat meprediksi inflasi di masa depan. Selain itu, arah tingkat bunga jangka panjang menyiratkan arah expected inflation.

PENGARUH PERDAGANGAN INTERNASIONAL TERHADAP PERTANIAN INDONESIA: KASUS WTO


A. Pendahuluan
Perekonomian dunia saat ini memasuki era sejarah baru dimana ekonomi dan budaya nasional serta batas-batas geografis kenegaraan sudah kehilangan makna oleh sebuah proses ‘globalisasi’ yang berjalan cepat. Globalisasi memberikan dampak berupa perubahan pada pasar internasional, salah satunya adalah liberalisasi perdagangan, yang dipandang sebagai suatu upaya untuk meningkatkan daya saing ekonomi. Indonesia yang menganut perekonomian terbuka juga sangat sulit untuk mengelak dari dinamika ekonomi internasional yang semakin mengglobal ini. Konsekuensinya, pasar domestik Indonesia tidak terlepas dari gejolak pasar dunia yang semakin liberal, karena kebijakan unilateral dan ratifikasi kerjasama perdagangan internasional (regional dan global) yang harus dilakukan Indonesia.
Secara umum, perdagangan dunia didasarkan pada pemikiran bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif (absolut dan relatif) dan daya saing yang berbeda. Negara melakukan ekspor terhadap barang yang memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dan mengimpor barang yang lebih rendah keunggulan komparatifnya daripada negara lain. Dengan demikian, efisiensi penggunaan sumberdaya (yang langka) meningkat untuk mencapai tingkat kesejahteraan dunia yang lebih baik. Hal ini merupakan tesis dasar dari teori konvensional tentang perdagangan internasional (Samuelson dan Nordhaus, 1992 : 398-399). Teori ini kemudian berkembang seperti teori keunggulan daya saing (Porter, 1993) yang menjadikan harga dunia sebagai pengatur lalu lintas pertukaran barang antar negara. Semua teori perdagangan menyatakan bahwa perdagangan internasional memberikan manfaat bagi dunia (Gans, et.al, 2003: 172-178; Hardono, et.al, 2004: 78). Beberapa ekonom, seperti A.K. Cairncross, G. Haberler, J.R. Hicks dan J.S. Mill juga menyatakan beberapa manfaat yang diperoleh, terutama oleh negara berkembang, dari perdagangan internasional ini (Jhingan, 2007: 447-450). Manfaat itu antara lain terbukanya pasar dunia; biaya produksi yang rendah; meningkatkan investasi, pendapatan dan tabungan dari alokasi sumberdaya yang lebih efisien karena setiap negara akan berspesialisasi pada satu atau dua produk. Umumnya, negara berkembang memiliki pasar domestik yang lebih kecil dan produksi bahan-bahan pokok dengan teknologi sederhana. Perdagangan internasional memungkinkan terjadinya pertukaran antara produk-produk negara berkembang ini dengan negara maju yang memproduksi mesin-mesin dan produk jadi; transfer teknologi dan pengetahuan; serta bantuan modal asing.
Pemikiran di atas mendasari terbentuknya World Trade Organization, WTO oleh sebagian besar negara di dunia pada tahun 1995. Negara-negara anggota WTO sepakat untuk membuka pasar domestiknya bagi produk-produk negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan internasional yang bebas ini. Namun seiring berlalunya waktu, perdagangan internasional tidak memberikan manfaat yang seimbang antara negara maju dan negara berkembang. Perbedaan yang signifikan antara keduanya dalam hal teknologi, SDM, kebijakan domestik, modal, dan sebagainya menyebabkan perdagangan yang tidak adil bagi negara berkembang, seperti Indonesia. Negara-negara maju seperti Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) sebagai penggagas perdagangan bebas tidak mudah membuka peluang impornya (Yusdja, 2004: 127). Menurut data FAO 2006, UE menetapkan tariff barrier yang tinggi dan waktu impor yang terbatas bagi negara-negara lain, yaitu hanya periode Maret – Agustus (Sihombing, 2006). Tingginya ’initial rate tariff’ di negara-negara maju menyebabkan produk-produk negara-negara berkembang sulit menembus pasar negara-negara maju (Malian, 2004: 135).
Selain itu, menurut Pranolo, AS (melalui Farm Bill-nya) dan negara G-10 (Jepang dan Korea Selatan) memberikan subsidi ekspor kepada petani mereka antara $56,8 - $142,2 milyar, yang sangat merugikan petani-petani di negara berkembang seperti Indonesia (Malian, 2004: 137; Sihombing, 2006). Hal ini pula yang menyebabkan negara berkembang sulit bersaing dan semakin terpuruk dalam perjanjian WTO (Sawit, 2007:200).
Salah satu sektor yang masuk dalam WTO adalah sektor pertanian dengan disahkannya Agreement on Agriculture, AoA yang memiliki tiga pilar utama: market access, export promotion/subsidy, domestic support (Pranolo, 2000; Malian, 2004: 136; Sawit, 2004: 121; Achterbosch, et.al. 2004: 99-101; Swastika, et.al, 2006: 258; Lokollo, 2007: 305). Ketiga pilar utama ini merupakan komitmen-komitmen yang harus dilaksanakan negara-negara anggota WTO (tabel 1, omitted). Komitmen tersebut:

a. Penurunan tariff untuk seluruh produk pertanian:
1. Negara Maju (6 thn : 1995 – 2000): 36%
2. Negara Berkembang (10 thn : 1995 – 2004): 24%
b. Penurunan tariff minimum per produk:
1. Negara maju: 15%
2. Negara berkembang: 10%

c. Domestik Support (thn dasar 1986-1988), penurunan subsidi:
1. Negara maju: 20%
2. Negara berkembang: 13%
d. Eksport Subsidies (thn dasar : 1986 – 1990):
*Penurunan nilai subsidi:
1. Negara maju: 36%
2. Negara berkembang: 24%
*Penurunan volume subsidi:
1. Negara maju: 21%
2. Negara berkembang: 14%
Makalah ini akan membahas liberalisasi perdagangan internasional terkait dengan sektor pertanian. Berikutnya akan dibahas tentang pertanian Indonesia. Apakah pertanian Indonesia memperoleh manfaat dari perdagangan internasional adalah bahasan selanjutnya. Paper ini ditutup dengan beberapa catatan.

B. Liberalisasi Perdagangan Internasional: WTO
Kebijakan nasional pembangunan pertanian di suatu negara tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh eksternal dalam era globalisasi dengan ciri keterbukaan ekonomi dan perdagangan yang lebih bebas. Dengan demikian, akan sulit ditemukan adanya kebijakan nasional pembangunan pertanian yang lepas dari pengaruh-pengaruh tersebut. Demikian pula halnya dengan Indonesia, dimana kebijakan nasional pembangunan pertaniannya dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, antara lain: (a). kesepakatan-kesepakatan internasional (seperti WTO, APEC dan AFTA); (b). kebijakan perdagangan komoditas pertanian di negara-negara mitra perdagangan Indonesia; (c). lembaga-lembaga internasional yang memberikan bantuan kepada Indonesia terutama dalam masa krisis (Pranolo, 2000).
Sebagai salah satu anggota WTO, berarti Indonesia bersedia membuka pasar domestiknya bagi produk negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas (Yusdja, 2004: 127). Selain itu, sebagai anggota WTO, Indonesia juga telah meratifikasi pembentukan WTO melalui UU No. 7 Tahun 1994 Malian, 2004: 135). Pada akhir tahun 1997 Indonesia akhirnya meminta bantuan kepada IMF dan World Bank untuk stabilisasi perekonomian nasional, dimana kedua lembaga ini memberikan ‘stabilization package’ senilai US$ 43 milyar. Namun Indonesia harus memberikan imbalan berupa reformasi di bidang kebijakan ekonomi makro yang mempengaruhi perubahan kebijakan pembangunan pertanian. Salah satu komitmen Indonesia dengan IMF (15 Januari 1998) adalah menurunkan tariff (pajak bea masuk yang dikenakan bagi produk impor yang diambil dari prosentase nilai produk) untuk semua jenis pangan maksimum 5 persen, yang juga berarti pemerintah harus menghapuskan semua pembatasan investasi untuk perdagangan eceran (retail) dan besar (wholesale) serta memberikan perlakuan yang sama dalam kegiatan impor dan distribusi pangan domestik bagi BULOG dan swasta.
Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang masuk WTO, dengan disahkannya hasil Putaran Uruguay (Uruguay Round) WTO sebagai rangkaian dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tanggal 15 Desember 1993. Perundingan di bidang pertanian meliputi tiga pilar utama: a). subsidi/bantuan domestik (domestic support), b). promosi/subsidi ekspor (export promotion/subsidy), c). akses pasar (market access) (Pranolo, 2000; Malian, 2004: 136; Sawit, 2004: 121; Achterbosch, et.al. 2004: 99-101; Swastika, et.al, 2006: 258; Lokollo, 2007: 305).
Menurut Lokollo (2007: 305), dalam subsidi domestik dibahas masalah penentuan formula pemotongan subsidi domestik dan produk khusus (Special product). Pilar subsidi ekspor, dibahas terutama terkait dengan masalah penghapusan subsidi ekspor. Untuk pilar akses pasar, termasuk yang dibahas adalah bentuk formula penurunan tarif, Special Product (SP), Special Safe-guard Mechanism (SSM) untuk negara berkembang (usulan dari Indonesia sebagai koordinator G-33), Sensitive Product untuk negara maju (Achterboscch, et.al, 2004:97). Selain itu terdapat pasal tentang special and differential treatment – S&DT (disyaratkan untuk negara berkembang) untuk menunjang tecapainya keseimbangan tiga pilar perundingan di bidang pertanian ini, agar perundingan dengan negara maju lebih berimbang dalam KTM WTO (Hutabarat, dkk, 2007:1; Sawit, dkk, 2005: 95). Usulan Indonesia ini masuk dalam Kerangka Kerja Paket Juli (July Framework) 2004 di Jenewa (Sawit, dkk, 2005:95; Hutabarat dan Rahmanto, 2007).
Kerangka kerja yang disebut sebagai July Package di Jenewa 2004 berhasil menyatukan pendapat negara-negara anggota WTO untuk menghapus subsidi ekspor pertanian untuk waktu tertentu. Paket Juli ini merupakan terobosan baru menyelesaikan Doha Development Agenda dimana Indonesia berhasil memasukkan konsep Special Product dan Special Safeguard Mechanism (SP/SSM) yang bertujuan untuk melindungi petani dalam negeri yang berada di bawah garis kemiskinan. Konsep SP/SSM ini memberikan kesempatan kepada negara berkembang seperti Indonesia, untuk melindungi produk-produk pertanian yang peka terhadap gejolak dan terkait kuat dengan gejolak ketahanan pangan (food security), pembangunan pedesaan (rural development), pengentasan kemiskinan (livelihood security) (Hutabarat dan Rahmanto, 2007).

Tiga pilar utama AoA di atas selalu menjadi perdebatan dalam setiap pertemuan dan negosiasi KTM WTO. Hasil kesepakatan yang dicapai dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO di Hongkong akhir Desember 2005 menghasilkan kesepakatan yang terbilang maju dibanding beberapa KTM sebelumnya. Pada KTM WTO Hongkong ini negara-negara anggota setuju untuk mengurangi subsidi domestik dalam kategori distorsif sebesar 21 persen (negara maju) dan 13 persen (negara berkembang) sebagai kelanjutan kesepakatan KTM Jenewa 2004.

C. Pertanian Indonesia
Indonesia pernah mencatat prestasi yang cukup menggembirakan pada tahun 1995 dengan keberhasilan program swasembada pangan, sehingga WFP (World Food Programme) dari PBB dihentikan untuk sementara waktu. Namun kondisi pertanian saat ini jauh dari menggembirakan dimana para petani tidak menikmati kenaikan harga produk pertanian, utamanya beras (naik sekitar 33 persen) di pasar dunia. Bahkan Indonesia menghadapi kelangkaan pasokan beras dalam negeri sehingga masyarakat sulit mendapatkan beras dengan harga terjangkau.
Seperti negara lain, Indonesia mengalami transformasi dalam struktur ekonominya, yaitu dari sektor pertanian ke sektor industri. Terkait dengan perubahan struktur ekonomi suatu negara, Lewis mengasumsikan perekonomian suatu negara (terutama negara berkembang) dibagi menjadi dua, perekonomian di pedesaan yang didominasi sektor pertanian dan di perkotaan dimana sektor industri berperan utama. Perekonomian di pedesaan mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja akibat tingginya pertumbuhan penduduk dan karena perekonomian yang masih bersifat tradisional dan subsisten sehingga upah riil menjadi rendah (Subandi, 2007: 43). Hal ini juga didukung oleh teori pattern of development oleh Chenery (1975) yang berfokus pada transformasi dari pertanian tradisional (subsisten) ke sektor industri di negara berkembang. Menurut Chenery dan Syrquin (1975), peningkatan perubahan pendapatan masyarakat per kapita akan menyebabkan perubahan ke arah konsumerisme dari kebutuhan pokok ke barang-barang industri dan jasa (Subandi, 2007: 43).

Namun, kedua teori ini kontradiksi dengan realitas yang terjadi di Indonesia. Menurut kedua teori ini, tenaga kerja yang berlebih di sektor pertanian pedesaan akan bermigrasi dan terserap oleh sektor industri di perkotaan. Tetapi, kenyataannya jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri tetap lebih kecil dibanding sektor pertanian. Padahal proporsi sumbangan sektor pertaniaan dalam PDB Indonesia semakin lama semakin menurun (tabel 2, omitted).

Dari tabel 2 (omitted) di atas menunjukkan proporsi sektor pertanian terhadap PDB adalah terbesar, yaitu sebesar 51 persen daripada sektor lainnya, seperti sektor industri yang hanya sebesar 8,5 persen dari total PDB pada tahun 1968. Tetapi prosentase sumbangan sektor pertanian semakin lama semakin menurun hingga hanya sebesar 13,4 persen pada tahun 2005. Sedangkan sektor lainnya seperti sektor industri dan sektor gabungan meningkat menjadi masing-masing 28,1 persen dan 48,1 persen pada tahun yang sama.
Kontribusi sektor industri yang menunjukkan trend meningkat belum didukung oleh penyerapan tenaga kerja dengan trend yang sama, karena sampai saat ini sektor pertanian menyerap tenaga kerja lebih besar dibanding sektor industri (Tabel 3, omitted). Angkatan kerja yang terserap di sektor pertanian pada tahun 2006 sebesar 42,05 persen dari total tenaga kerja 95.456.935 orang dibanding sektor industri hanya sebesar 12,46 persen. Semua sektor mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2007 namun sektor pertanian tetap menduduki posisi teratas dalam menyerap tenaga kerja (sebesar 41,23 persen) dibanding sektor industri sebesar 12,38 persen.
Hal ini mendukung pernyataan yang dikemukakan oleh Subandi (2007: 44) bahwa struktur ekonomi Indonesia saat ini sebenarnya masih belum industrialisasi secara penuh karena adanya ketimpangan antara prosentase sumbangan sektor pertanian terhadap PDB dengan tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor ini. Dengan kata lain, struktur ekonomi Indonesia masih bersifat dualistik, teori yang dikemukakan oleh Boeke, yaitu sektor pertanian dan sektor industri (Jhingan, 2007: 201).

Dalam perjanjian pertanian WTO (AoA), Indonesia memasukkan empat komoditas strategisnya yaitu beras, jagung, gula dan kedelai, dimana keempat komoditas ini dikategorikan sebagai komoditas substitusi impor. Tabel berikut memperlihatkan perkembangan kondisi beras Indonesia selama periode tahun 1995 – 2002. Produksi beras Indonesia selama delapan tahun hanya memiliki kelajuan sebesar 0,11 persen, tingkat kelajuan ketersediaannya hanya sebesar 0,78 persen serta Indonesia menjadi net importir country untuk beras selama periode tersebut.

Menurut Malian (2004: 140), rendahnya pertumbuhan produksi beras dalam negeri disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a). Tingkat rendemen padi menurun karena penerapan teknologi yang tidak sesuai dan penggunaan mesin-mesin tua, dimana setiap penurunan satu persen rendemen padi akan menurunkan sekitar 0,5 juta ton beras; b). Kurangnya insentif dan rendahnya harga gabah saat panen raya sehingga petani memilih komoditas yang akan diusahakan; c). Harga pupuk dan pestisida yang meningkat serta turunnya upah tenaga kerja pasca krisis menyebabkan petani menurunkan tingkat intensifikasi yang diharapkan, sehingga produktifitas petani terus menurun; d). Program yang dijalankan pemerintah (seperti Raskin) telah merusak mekanisme pasar beras dalam negeri. Dengan kondisi seperti ini, usaha meningkatkan produksi beras dengan meningkatkan harga dasar dan penerapan tarif impor tidak akan mencapai sasaran.

Faktor utama pendorong meningkatnya permintaan jagung di pasar domestik disebabkan oleh usaha peternakan ayam yang berkembang pesat sehingga volume impor jagung meningkat dari tahun ke tahun. Ketersediaan jagung nasional selama periode tahun 1995 – 2002 hanya sebesar 2,29 persen per tahun sedangkan produksi meningkat 2,44 persen per tahun selama periode tersebut. Ekspor jagung Indonesia menunjukkan kecenderungan yang menurun sebaliknya laju impor jagung meningkat sebesar 22,27 persen untuk tahun 1995 – 2002 (Tabel 5, omitted).

Terkait dengan komoditas jagung, pemerintah mengalami dilema dalam upaya peningkatan produksinya. Laju peningkatan produksi jagung nasional sangat rendah menyebabkan naiknya impor jagung dua kali lipat sejak tahun 1998 untuk menutupi peningkatan kebutuhan konsumsi pabrik pakan yang lebih besar daripada peningkatan produksi nasional. Namun, di sisi lain, pemerintah membutuhkan pertimbangan khusus jika akan mengurangi impor melalui tarifikasi karena hal ini akan mematikan usaha peternakan nasional.


Untuk komoditas kedelai, produksi dalam negeri hanya mampumemenuhi kebutuhan konsumsi domestik sebesar 32 persen sedangkan sisanya dipenuhi melalui impor. Tabel 6 menunjukkan peningkatan impor kedelai dengan laju 35,41 persen per tahun, dimana impor meningkat tajam pada tahun 1999 yaitu 1,3 juta ton. Sebaliknya, produksi kedelai dalam negeri mengalami penurunan dengan laju sebesar 12,03 persen. Impor kedelai diperkirakan akan cenderung meningkat dengan dihapuskannya monopoli BULOG sebagai importir tunggal serta dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai kedelai. Selain itu AS sebagai eksportir utama kedelai memberikan subsidi ekspor sehingga menarik importir kedelai Indonesia untuk menggunakan fasilitas ini.

Peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan pertumbuhan industri makanan dan minuman memicu meningkatnya konsumsi gula nasional. Namun, tabel 7 menunjukkan laju peningkatan ketersediaan gula dalam negeri termasuk kecil, yaitu hanya 3,53 persen. Hal ini terjadi karena meningkatnya harga gula yang tajam pada tahun 1998 menyebabkan konsumsi per kapita gula menurun drastis. Selain itu itu, deregulasi industri gula pada tahun yang sama menurunkan produksi gula (1,48 persen per tahun) sehingga impor gula meningkat dengan laju peningkatan sebesar 26,64 persen. Produksi gula menurun tajam dari 2,19 juta ton menjadi 1,49 juta ton terjadi tahun 1998. Impor gula yang menurun dua tahun terakhir pada tabel 7 disebabkan adanya penerapan tarif impor yang berlaku 1 Desember 2000. (Malian, 2004: 142).

D. Pengaruh Perdagangan Internasional terhadap Pertanian Indonesia
Negara-negara berkembang anggota WTO cenderung mengalami dampak negatif dari liberalisasi perdagangan, termasuk Indonesia yang telah menjadi net-importir country beras sejak tahun 1995. Sedangkan negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa (UE) serta G-10 memperoleh manfaat yang signifikan dari AoA WTO tersebut. Hal ini terjadi karena keengganan negara-negara maju untuk mematuhi AoA yang telah disepakati terutama terkait dengan tiga pilar utama tersebut, mulai dari Putaran Uruguay, Doha Round, Cancun Meksiko, Jenewa sampai KTM WTO di Hong Kong 2005 (Arifin, 2007:199).
Tujuan dibentuknya WTO untuk menciptakan perdagangan bebas yang adil bagi semua negara (Pranolo, 2000) tidak terwujud dalam implementasinya. Liberalisasi perdagangan ini justru menciptakan ketidakadilan bagi negara-negara berkembang. Terkait dengan akses pasar misalnya, menurut data FAO 2006, UE menetapkan tariff barrier yang tinggi dan waktu impor yang terbatas bagi negara-negara lain, yaitu hanya periode Maret – Agustus (Sihombing, 2006). Selain itu, tingginya ’initial rate tariff’ di negara-negara maju menyebabkan produk-produk negara-negara berkembang sulit menembus pasar negara-negara maju (Malian, 2004:135). Subsidi ekspor dan dukungan domestik juga digunakan negara-negara maju dalam melindungi pasar produk pertanian dalam negerinya (Sawit, 2004; Malian, 2004:135). Menurut Pranolo, AS (melalui Farm Bill-nya) dan negara G-10 (Jepang dan Korea Selatan) memberikan subsidi ekspor kepada petani mereka antara $56,8 - $142,2 milyar, yang sangat merugikan petani-petani di negara berkembang seperti Indonesia (Malian, 2004:137; Sihombing, 2006). Hal ini pula yang menyebabkan negara berkembang bersaing dan semakin terpuruk dalam perjanjian WTO (Sawit, 2007:200). Bahkan, dalam AoA WTO tersebut tidak terdapat fleksibilitas yang memadai bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif (Malian, 22004:135).
Hasil penelitian IATP (Institute of Agriculture and Trade Policy) AS menyatakan bahwa AS melalui Bank Dunia dan WTO memaksa negara-negara berkembang untuk menurunkan tariff dan membuka pasar yang memudahkan MNC AS melakukan kegiatan bisnis pangan secara global yang terutama melayani pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia (Sawit, 2007:201). Penelitian IATP mendukung kondisi nyata negara-negara berkembang. Misalnya, Indonesia yang memasukkan 4 komoditas utama dalam AoA WTO, yaitu beras, jagung, kedelai dan gula (Arifin, 2007:196). Untuk ekspor, Indonesia malah tidak memberikan subsidi bagi produk pertanian yang diekspor karena anggaran pemerintah yang terbatas dan ketakberpihakan elit pemerintahan terhadap petani Indonesia (Sianturi, 2002; Arifin, 2007:201). Selain itu, Indonesia menetapkan tariff yang jauh lebih kecil dalam sektor pertanian daripada yang diperkenankan oleh WTO yang jelas merugikan petani produsen. Hal ini terlihat jelas pada empat komoditas strategis yaitu beras (30persen vs 160persen), jagung (0 persen vs 40persen), gula (25persen vs 95persen), dan kedelai (0persen vs 27persen) (Arifin, 2007:202; Malian, 2004:36; Swastika, et.al, 2006:259).
Komitmen lain yang pada kenyataanya tidak sesuai dengan klausul yang ada, adalah janji apabila subsidi ekspor dicabut dan pengurangan tarif bea masuk, maka nilai ekspor negara-negara berkembang akan mengalami peningkatan, bukti yang terjadi adalah kebalikannya. Dengan alasan SPS (Sanitary and Phytosanitary), negara-negara maju merancang berbagai argumen untuk menutup pasar ekspor dari negara berkembang. Selain itu, dengan kepemilikan tanah yang sempit, praktik bertani subsisten, dan penguasaan teknologi yang rendah, kemungkinan petani-petani dari Dunia Ketiga untuk melakukan ekspor sangatlah kecil.
Menurut Djafar (2006), keluarnya PERPRES No. 36 Tahun 2005 tentang pembebasan tanah bagi kepentingan umum, yang bertujuan untuk memudahkan investasi asing, akan semakin mempersempit ruang gerak pertanian dalam negeri. Selain itu pengurangan domestic support pertanian, menyebabkan pemerintah menetapkan kredit tani hanya diberikan sampai 2004 dan melakukan pengurangan subsidi pupuk secara bertahap. Kebijakan penetapan tarif impor sampai 0persen menyebabkan membanjirnya produk pertanian impor dalam pasar dalam negeri yang menggeser produk lokal yang kalah bersaing. Disamping itu, masuknya benih-benih transgenik yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan transnasional, seperti Monsanto, yang mengakibatkan hilangnya benih-benih lokal Indonesia. Padahal menurut Tim Bioteknologi UGM teknologi transgenik telah membunuh 37 orang di Amerika Serikat dan mengakibatkan 500 orang menderita cacat seumur hidup. Namun, pemerintah tetap memaksakan kebijakan ini. Kondisi pertanian Indonesia semakin diperparah dengan orientasi pembangunan yang dilakukan pemerintah, relatif mengesampingkan sektor pertanian pedesaan. Di samping itu, kebijaksanaan harga hasil pertanian dirasa berat bagi petani, yang nampak pada adanya kecenderungan menurunnya nilai tukar yang diterima petani, kecenderungan ini berakibat pada pendapatan petani yang rendah. Ini juga bertalian dengan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan petani serta kemampuan petani dalam meningkatkan investasi pada mutu modal manusia, yaitu pendidikan yang rendah.
Hasil studi yang dilakukan oleh Amang dan Sawit (1997) menunjukkan bahwa dampak liberalisasi perdagangan melalui WTO cukup serius bagi Indonesia, dalam bidang ekonomi dan non-ekonomi perpindahan faktor produksi yang relatif cepat dan singkat dari sektor pertanian ke sektor manufaktur) yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat secara umum (Hardono, et.al, 2004:83). Lebih lanjut, menurut Hardono (2004:83), studi yang dilakukan oleh Sitepu (2002) menunjukkan bahwa kebijakan penghapusan subsidi harga input berdampak pada penurunan produksi dan pendapatan petani. Pemberlakuan liberalisasi perdagangan (dengan penghapusan peran BULOG dalam pengadaan dan penyaluran gabah/beras serta penghapusan tarif) tidak efisien dan tidak tepat dilaksanakan karena keuntungan yang diterima konsumen lebih kecil daripada kerugian yang diderita produsen sehingga total net surplus berkurang. Akibatnya kebijakan ini merugikan petani kecil yang umumnya miskin dan akan memperburuk distribusi pendapatan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut yang menunjukkan jumlah dan prosentase penduduk miskin Indonesia periode tahun 1996 – 2005. Prosentase terbesar penduduk miskin Indonesia selama 10 tahun berada di daerah pedesaan yang memiliki mata pencaharian utama dari sektor pertanian.

Kondisi ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba, et.al (2007) dalam menilai dampak perdagangan bebas di sektor pertanian melalui WTO yang menggunakan model Agricultural Trade Policy Simulation Model (ATPSM). Menurut model ATPSM ini kesejahteraan total dihitung berdasarkan penjumlahan dari surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah. Liberalisasi perdagangan lebih banyak memberi keuntungan bagi negara maju melalui peningkatan kesejahteraan total terutama skenario Harbinson 2 dan sebaliknya merugikan negara berkembang termasuk Indonesia. Negara maju mengalami total kesejahteraan yang diperoleh dari selisih surpulus produsen dan konsumennya. Penurunan tarif bea masuk akan menurunkan surplus produsen negara yang mengenakan tarif, tetapi konsumennya akan mengalami peningkatan surplus sehingga kerugian produsen dapat diimbangi oleh keuntungan konsumen. Sebaliknya, liberalisasi perdagangan meningkatkan surplus petani produsen negara berkembang termasuk Indonesia, tetapi menurunkan surplus konsumennya sehingga total kesejahteraan menunjukkan angka negatif (tabel 9, omitted). Jika mekanisme distribusi pendapatan secara internal belum efektif seperti yang umumnya terjadi di negara berkembang, kesenjangan manfaat ini akan menimbulkan dampak sosial. Ini merupakan salah satu faktor penyebab liberalisasi perdagangan di sektor pertanian ditolak banyak pihak (Purba, 2007: 99).

Beberapa ekonom lainnya seperti Myrdal, Presbisch, Singer serta Bhagwati juga menyatakan perdagangan internasional menyebabkan terjadinya ketimpangan dan kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang. Myrdal mengemukakan teori mengenai dampak balik (backwash effects) dan dampak sebar (spread effects) yang disebabkan adanya ketimpangan regional pada tingkat nasional dan internasional. Di negara berkembang, dampak balik (semua perubahan yang merugikan dari ekspansi ekonomi di suatu tempat karena faktor eksternal) cenderung membesar dan sebaliknya dampak sebar (dampak momentum pembangunan yang menyebar secara sentrifugal dari pusat ke wilayah lainnya) cenderung mengecil sehingga menyebabkan ketimpangan (Jhingan, 2007: 212). Ketimpangan regional terjadi karena adanya kekuatan pasar yang bebas dengan motif laba sehingga pembangunan terpusat pada suatu wilayah tertentu yang menyebabkan terjadinya migrasi tenaga kerja, modal dan perdagangan. Negara maju yang memiliki basis industri yang kuat mengekspor hasil industrinya ke negara berkembang dengan harga murah. Hal ini mematikan industri kecil negara berkembang sehingga didorong untuk mengekspor produk-produk primer yang harganya berfluktuasi (permintaannya bersifat inelastis di pasar ekspor). Pernyataan Myrdal tentang akibat perdagangan bebas antara negara maju dan negara berkembang adalah awal dari suatu upaya pemiskinan dan stagnasi tercermin dengan jelas dalam perjanjian pertanian (AoA) WTO.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Presbisch dan Singer (Jhingan, 2007: 450) yang menyatakan bahwa perdagangan justru menghambat pembangunan di negara berkembang karena adanya: a). Dampak negartif dari pergerakan modal internasional, b). Demonstration effects internasional, c). Kemerosotan imbangan perdagangan barang (coomodity terms of trade). Investasi luar negeri yang menghasilkan produk primer akan meruikan produksi domestik, karena sektor domestik lebih bersifat padat karya sedangkan sektor ekspor bersifat padat modal yang tidak mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Terkait dengan term of trade terajdi pengalihan pendapatan dari negara berkembang ke negara maju karena manfaat dan keuntungan perdagangan mengalir ke negara maju. Lebih jauh, Singer (1950: 477) mengemukakan bahwa spesialisasi pada ekspor bahan makanan dan bahan mentah tidak menguntungkan bagi negara berkembang karena a). Menjauhkan pengaruh kumulatif dari investasi dari negara berkembang ke neagara maju, b). Mendorong negara berkembang kepada kegiatan yang memiliki lingkup kurang bagi kemajuan teknis dan ekonomi internal dan eksternal. Dengan kata lain, menurut Singer, perdagangan hanyalah usaha yang bertujuan membuka pasar-pasar baru di negara berkembang bagi produk-produk industri negara maju (Singer, 1950: 475). Bhagwati mengemukakan hal yang sama dalam teorinya Immiserizing Growth (pertumbuhan yang memiskinkan) yaitu ekspansi ekonomi melalui perdagangan dapat membahayakan negara berkembang, dimana ekspansi ekonomi meningkatkan output namun dapat menyebabkan dampak buruk pada terms of trade yang menghilangkan manfaat ekspansi ekonomi dan mengurangi pendapatan riil di negara berkembang (Bhagwati, 1958: 201).

E. Penutup
Sektor pertanian sangat memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber devisa (salah satu komoditi ekspor) sehingga merupakan sumber pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan hal itu, perekonomian dunia saat ini memasuki era sejarah baru dimana ekonomi dan budaya nasional serta batas-batas geografis kenegaraan sudah kehilangan makna oleh sebuah proses ‘globalisasi’ yang berjalan cepat. Indonesia yang menganut perekonomian terbuka juga sangat sulit untuk mengelak dari dinamika ekonomi internasional yang semakin mengglobal ini. Sejalan dengan itu terjadi perubahan mendasar di pasar internasional yaitu liberalisasi perdagangan untuk sektor pertanian dengan terbentuknya World Trade Organization (WTO) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi melalui perdagangan internasional yang adil dan saling menguntungkan.
Namun, tujuan yang ingin dicapai dalam perjanjian pertanian WTO, yaitu untuk membentuk perdagangan yang adil dengan sistem perdagangan produk pertanian berorientasi pasar, tidak terlaksana. Posisi negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) dalam banyak hal tidak seimbang dengan negara-negara maju, bahkan tidak merasakan manfaat secara optimal dari keikutsertaannya sebagai anggota WTO (Hutabarat, dkk, 2007: vi). Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian tidak memberikan keuntungan yang seimbang bagi negara berkembang seperti yang diperoleh negara maju, karena mengancam pasar domestik, terutama kesejahteraan petani produsen di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

PENGEMBANGAN SDM DI INDONESIA


“All men by nature desire knowledge. (Aristotle)”
“The educated differ from the uneducated as much as the living from the dead (Aristotle)”

Premis: Kualitas SDM Indonesia dipengaruhi oleh kualitas di bidang ekonomi, pendidikan dan sosial politik.

1. Pendahuluan
Plato dan Aristoteles menempatkan kebijakan intelektual pada tempat yang tinggi. Hal ini dapat dilihat pada rencana-rencana penddidikan yang mereka kemukakan selalu menekankan kebijakan moral, latihan kemauan, fisik yang menunjang kekuatan moral dan intelektual yang kesemuanya berkaitan dengan kebaikan, disiplin dan keselarasan dalam berpikir. Selain itu, mereka juga menekankan pada kepandaian untuk membuat barang dan kebijakan praktis yang dapat menimbang secara tepat dalam mencapai tujuan-tujuan yang baik dalam kehidupan.

Indonesia terkenal sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk besar. Namun sudah saatnya pandangan klasik ini dirubah menjadi sebuah ‘negara besar yang memiliki potensi sumberdaya manusia yang berbakat’. Cara pandang pertama berkonotasi negatif dan kurang memiliki potensi karena jumlah penduduk besar dipandang sebagai ‘beban’, sedangkan cara pandang yang kedua bermakna positif dan optimisme yang mendalam. Namun tak dapat disangkal pula bahwa pemerintah selama ini kurang memberikan porsi perhatian yang cukup bagi pengembangan kualitas SDM Indonesia. Hal ini dapat dipahami karena perhatian pemerintah lebih terfokus pada bagaimana cara mengeksploitasi SDA dan energi yang berlimpah dan dijadikan sebagai satu-satunya potensi daya saing Indonesia dengan negara lain.
Secara nasional, angka Human Development Index (HDI) Indonesia – meskipun menunjukkan peningkatan selama 25 tahun (1975 – 2000) – masih rendah (0,692) dibanding dengan negara-negara lain dan hanya menempati peringkat ke-111 dari 177 negara. Hasil yang sama ditunjukkan oleh World Competitiveness Yearbook tahun 2006 yang justru memperlihatkan peringkat Indonesia yang hanya menempati urutan ke-59 dibanding dengan negara berkembang lainnya, seperti Brazil (51), Mexico (56) dan Argentina (58).


Rendahnya daya saing dan angka HDI Indonesia disebabkan oleh banyak faktor antara lain kondisi perekonomian yang menyebabkan rendahnya tingkat penghidupan masyarakat secara ekonomi. Hal ini jelas mempengaruhi kemampuan finansial mereka untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka bahkan anak-anak usia sekolah terpaksa meninggalkan bangku sekolah demi membantu orang tua mencari nafkah. Selain itu kondisi sosial, budaya dan politik turut andil dalam rendahnya kualitas SDM Indonesia. Ketimpangan dan jurang sosial antara masyarakat kaya dan miskin yang semakin hari semakin lebar serta kondisi politik masyarakat Indonesia yang belum siap secara mental menuju demokrasi yang damai tidak dapat disangkal memiliki korelasi yang kuat dengan kualitas dan daya saing SDM di pentas masyarakat internasional dalam era globalisasi ini.
Indonesia perlu memprioritaskan upayanya untuk meningkatkan kualitas SDMnya, tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya tetapi juga untuk meletakkan fundamental pertumbuhan ekonomi yang kokoh dan menjamin kelangsungan iklim demokrasi dalam jangka panjang. Investasi di bidang SDM ini penting dan dapat dicapai dengan program pengembangan yang tepat dan berkelanjutan, komitmen kuat dan keberpihakan pemerintah sebagai regulator dan lokomotif penggerak utama dalam pengembangan kualitas SDM.

2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka rumusan masalah yang diajukan adalah “Mengapa kualitas SDM Indonesia dipengaruhi oleh kualitas di bidang ekonomi, pendidikan dan sosial politik?

3. Tinjauan Pustaka
Indonesia sudah saatnya memikirkan untuk beralih basis daya saing dari SDA sebagai dasar kompetitif ke SDM dalam menghadapi era liberalisasi ekonomi secara global (WTO), terutama untuk wilayah Asia Pasifik (APEC). Hal ini dikarenakan hanya negara-negara dengan kualitas SDM yang tinggi yang mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya (Kristiadi, 1997:75-76). Dengan kata lain, negara yang memiliki SDM yang berkualitas – meskipun dengan SDA terbatas – lebih mampu bersaing di dunia internasional dibanding negara yang memiliki SDA melimpah namun memiliki kualitas SDM yang rendah.

UNESCO sebagai salah satu badan dunia yang bergerak di bidang pendidikan, sains dan kebudayaan mencanangkan program dasawarsa yang dinamis yaitu Education for Sustainable Development (2005 -2014). Program ini memiliki visi baru mengenai pendidikan dengan memberdayakan setiap orang dari seluruh kelompok usia untuk turut bertanggungjawab dalam menciptakan masa depan berkelanjutan. ESD adalah suatu upaya untuk menjadikan masyarakat peduli agar mereka memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa merusak kemampuan generasi-generasi berikut untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. ESD bertujuan untuk mengubah perilaku dan wawasan manusia agar semua orang memperoleh rasa ikut memiliki masa depan yang berkelanjutan (Basorie, 2005). Menurut Derek Elias, koordinator ESD Asia Pasifik, dasawarsa ESD ini mutlak dibutuhkan untuk menggugah kesadaran dan komitmen masyarakat dalam berperan aktif menanggulangi tantangan-tantangan besar lingkungan dan sosial yang dihadapi dunia secara global.

Persoalan pendidikan telah menjadi persoalan dunia yang membutuhkan kerjasama secara internasional untuk meningkatkan mutu yang merupakan tujuan kedua dari Millenium Development Goals (create basic education for everyone). Hal ini diwujudkan dalam konsensus dunia dalam Kesepakatan Dakar tentang ‘Education for Everyone’ yang menghasilkan beberapa poin kesepakatan: (a). memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini yang kurang beruntung; (b). menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak: terutama anak perempuan, anak-anak dalam kondisi sulit dan yang termasuk etnis minoritas, memiliki akses dan menyelesaikan pendidikan dasar secara gratis, wajib yang berkualitas baik; (c). menjamin bahwa kebutuhan belajar semua orang terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai; (d). mencapai 50 persen tingkat melek huruf orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan; (e). menghapus kesenjangan dan mencapai kesetaraan jender dalam pendidikan (dasar dan menengah) menjelang tahun 2005; (f). memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya (Darmawan dkk, 2007).

Persoalan pendidikan tidak bisa lepas dari aspek lain dalam kehidupan masyarakat seperti aspek ekonomi, sosial, budaya dan situasi politik. Kesemua aspek itu turut mempengaruhi mutu pendidikan yang berimplikasi pada kualitas SDM suatu negara. Beberapa penelitian telah membuktikan kuatnya korelasi antara kemiskinan dengan rendahnya kualitas pendidikan suatu masyarakat (Darwis, 2004; Susenas, 1999; Sahdan, 2005; Gunawan dan Sugiyanto; Sumedi dan Supadi, 2004; Wirnto, 2004). Selain itu, kemiskinan juga menjadi alasan utama (35,78%) banyaknya anak-anak Indonesia putus sekolah selain karena mereka harus bekerja membantu orang tua (23,56%) dan sebanyak 15, 77% karena menikah (BPS, 2006).
Demikian kompleksnya permasalahan ini sehingga membutuhkan koordinasi dan kerjasama semua lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah, perusahaan swasta, organisasi sosial (LSM), serta masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat mutlak diperlukan.
Pemberdayaan rakyat (WIM.Poli, dkk, 2006: 81) upaya untuk meningkatkan kemampuan rakyat (masyarakat lokal) untuk memenuhi kebutuhannya tanpa menghambat pemenuhan kebutuhan generasi masa depan, di dalam konteks sosial-budaya, di antara keluarga bangsa dan bangsa-bangsa yang bermartabat. Diharapkan masyarakat mampu melepaskan diri dari empat dimensi kemiskinan: (a). kemiskinan ekonomi (lack of choice); (b). kemiskinan politik (lack of voice); (c). kemiskinan sosial (lack of status); (d). kemiskinan percaya diri (lack of self-confidence). Pemberdayaan masyarakat dapat diwujudkan dengan mengedepankan pembangunan yang bercirikan masyarakat lokal. Terkait dengan hal ini, maka suatu konsep yang dikenal dengan ‘Kemandirian Lokal’ dibutuhkan. Kemandirian lokal adalah sebuah konsep akademik mengenai pembangunan yang tidak mempertentangkan tetapi justru memadukan kekuatan global dan kekuatan lokal untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dimaksud adalah: (a). kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, (b). dengan menggunakan sumberdaya yang ada pada diri dan lingkungannya, (c). dengan tidak menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa depan, (d). menuju tingkat kehidupan yang lebih tinggi, (e) .dengan atau tanpa bantuan dari luar, (f). dalam batas hukum & HAM yang universal. (W.I.M. Poli, 2008)

4. Fakta:
a. Sosial – Politik → Kesenjangan jender: tingkat buta huruf perempuan 20%, sementara laki-laki hanya 9%; 71% dari kategori pekerja yang tidak dibayar adalah perempuan; hanya 7% dari pejabat dan manajer senior adalah perempuan; keterwakilan perempuan pada sektor politik masih rendah (10% dari anggota DPR), 87 % dari masyarakat miskin adalah masyarakat yang mempunyai kepala rumah tangga dengan pendidikan SD; 60% diantaranya hidup dari sektor pertanian; 75% hidup di pedesaan, 61% hidup di pulau Jawa; serta wilayah paling miskin tersebar di Kawasan Timur Indonesia. (Susenas, 1999;UNDP, 1999; World Bank, 2000).

b· HDI Indonesia selama tiga tahun terakhir masih menduduki peringkat yang belum memuaskan: peringkat 108 (2005), 110 (2006) dan 107 (2007).

c· Kondisi SDM Indonesia (Damanhuri, 2003):

1· Adanya kesenjangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja, dimana pada krisis ekonomi (1998) jumlah angkatan kerja nasional sekitar 92,73 juta orang, sedangkan jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan terdapat sekitar 5,06 juta orang menjadi penganggur terbuka (open unemployment); serta rendahnya tingkat pendidikan angkatan kerja, dimana masih didominasi (63,2%) angkatan kerja berpendidikan dasar.

2· Hasil survei yang dibuat Times Higher Education Supplement (THES) dan QS, lembaga internasional yang membuat peringkat tingkat dunia dalam bidang pendidikan:

3· Tingkat dunia: Universitas Indonesia berada di peringkat ke-250, ITB peringkat ke-258, UGM peringkat ke-270 dan Universitas Diponegoro peringkat ke-495 dari 520 perguruan tinggi dari berbagai negara di dunia yang masuk dalam kriteria penilaian.

4· Tingkat Asia: Universitas Indonesia berada di peringkat 43 dan peringkat ke-6 di wilayah Asia Tenggara.

5· Laporan UNESCO Asia Pasifik: Indonesia hanya memiliki sekitar 10,3% dari APBN untuk anggaran pendidikan(2007), angka yang masih jauh dari ketentuan sebesar 20% dan masih termasuk rendah apabila dibandingkan dengan Singapura (27%), Malaysia (22%) dan Thailand (21%).

d. Laporan BPS 2006:
* Februari 2005:
ü Angkatan kerja sekitar 105,8 juta orang, naik 1,8 juta orang dari Agustus 2004 (104,0 juta orang) sementara tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 10,3%, lebih tinggi dari TPT pada Agustus 2004 (9,9%).

ü Jumlah penduduk yang tidak bekerja penuh (underemployment) pada sekitar 29,6 juta orang atau 31,2% dari seluruh penduduk yang bekerja, meningkat dibanding Agustus 2004 (29,8%).

* Februari 2006:
ü Jumlah angkatan kerja mencapai 106,3 juta orang, meningkat sebesar 500 ribu orang dari Februari 2005 sebesar 105,8 juta orang sementara jumlah penduduk yang bekerja sebesar 95,2 juta orang, bertambah 300 ribu orang dari Februari 2005. Angka pengangguran terbuka mencapai 10,4%, sedikit lebih tinggi dibandingkan keadaan pada Februari 2005 (10,3%), tetapi jauh lebih rendah dibandingkan keadaan pada Nopember 2005 (11,2%).

e. Peningkatan Akses Pendidikan bagi penduduk miskin: (a). BOS Rp. 12,6 triliun untuk 41, 9 juta siswa (2007 = Rp. 10,4 triliun untuk 35,2 juta siswa); (b). Beasiswa untuk siswa miskin Rp. 2,25 triliun untuk 1,8 juta siswa SD-SMP, 650 ribu siswa MI-MTs, 732 ribu siswa SMA, 210 ribu siswa MA, dan 210, 6 ribu mahasiswa PT-PT agama (Depkeu, 2008).

f. Laporan UNESCO/OECD, 2005:
"In 2003, the share of young people aged 25 to 34 years who had tertiary degree in Indonesia was 5%."

5. Metode
Menurut Damanhuri (2003), sebelum era reformasi, pendekatan fisik mendominasi pembangunan Indonesia yang sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, telah terjadi misallocation of human resources dimana pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif (mulai dari sektor industri manufaktur sampai industri perbankan). Akibatnya, dunia pendidikan terjebak dalam kemelut ekonomi politik, dimana terjadi ketimpangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar yang masih terdistorsi. Hal ini terjadi karena terbatasnya visi SDM pad struktur pasar yag sudah ada dan belum mampu menciptakan pasar sendiri akibat kondisi makro ekonomi yang memang belum mendukung. Visi ini kurang kondusif bagi pengembangan SDM, sehingga pembangunan fisik sarana dan prasarana pendidikan tidak dibarengi dengan tolok ukur kualitas pendidikan.
Fokus pengembangan SDM harus memprioritaskan pada kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan SDM Indonesia untuk terus produktif, memiliki daya saing secara global dan bersifat fleksibel terhadap perubahan yang cepat. Selain itu keterlibatan pihak swasta, organisasi sosial serta masyarakat itu sendiri perlu didukung oleh pemerintah dalam bentuk pemberian insentif (misalnya keringanan pajak bagi perusahaan yang memberikan beasiswa pendidikan) (Taufiza, 2004).
Selain itu, aspek sosial dan politik memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap mutu pendidikan, dimana aspek sosial inilah yang member kerangka budaya bagaimana dan darimana pendidikan tersebut bergerak dan berkembang, memindahkan budaya serta mengembangkannya (Dinar, 2005). Oleh karena itu esensi pendidikan yang mengakomodasi aspek sosial masyarakat harus: (a). mencerminkan karakter masyarakat yang nantinya akan melahirkan individu-individu yang berkarakter dan berintelektual tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur masyarakat, (b). tidak bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat sehingga mampu diterima dan dicerna dengan baik oleh masyarakat, (c). mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat baik secara wilayah, (kota-desa) dan status sosial (kaya-miskin). Selain aspek sosial, aspek politik (yang meliputi administrasi dan organisasi, undang-undang dan perundang-undangan yang menafsirkan susunan dan kedudukan organisasi pendidikan serta mengarahkan pergerakannya) juga berperan dalam membingkai ideologi dengan mana pendidikan bertitik tolak untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Political will pemerintah Indonesia mutlak diperlukan dalam upaya membangun pendidikan nasional, terutama dalam penyusunan kurikulum yang merupakan konsep dasar serta petunjuk pelaksanaan pendidikan.Kurikulum pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor: (a). fisiologis negara, (b). sosiologis (keadaan masyarakat, ekonomi, adat istiadat dan kesehatan), (c). psikologis (minat terhadap kemampuan dan pengalaman penduduk), (d). organisatoris (kurikulum disajikan dalam bentuk tertentu baik dalam luas bahan, isi danurutan) (Dinar, 2005).
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa masalah pengembangan SDM bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah) tetapi juga seharusnya melibatkan partisipasi aktif masyarakat (perusahaan swast, organisasi sosial dan masyarakat perorangan). Perusahaan-perusahaan swasta melalui program Corporate Social Responsibility telah menunjukkan keberhasilannya membantu pemerintah meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. PT. Djarum, PT. Astra International, adalah contoh dari sekian banyak perusahaan yang turut andil dalam pengembangan SDM Indonesia. Organisasi sosial seperti Tanoto Foundation (bekerja sama dengan PT Djarum dan Program MM Universitas Indonesia) serta masyarakat perorangan seperti Ny. Elizabeth juga adalah bukti nyata dari program pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan dan memperluas akses pendidikan terutama bagi anak-anak yang kurang mampu (Metro TV, 2008).

6. Kesimpulan
Pengembangan SDM Indonesia – yang merupakan tanggung jawab pemerintah, swasta dan organisasi sosial serta masyarakat dapat dicapai melalui peningkatan kualitas hidup masyarakat di bidang ekonomi, pendidikan dan sosial politik dengan mengedepankan kemandirian lokal sehingga mampu bersaing dalam pasar tenaga kerja secara global.