Wednesday, August 13, 2008

PENGARUH PERDAGANGAN INTERNASIONAL TERHADAP PERTANIAN INDONESIA: KASUS WTO


A. Pendahuluan
Perekonomian dunia saat ini memasuki era sejarah baru dimana ekonomi dan budaya nasional serta batas-batas geografis kenegaraan sudah kehilangan makna oleh sebuah proses ‘globalisasi’ yang berjalan cepat. Globalisasi memberikan dampak berupa perubahan pada pasar internasional, salah satunya adalah liberalisasi perdagangan, yang dipandang sebagai suatu upaya untuk meningkatkan daya saing ekonomi. Indonesia yang menganut perekonomian terbuka juga sangat sulit untuk mengelak dari dinamika ekonomi internasional yang semakin mengglobal ini. Konsekuensinya, pasar domestik Indonesia tidak terlepas dari gejolak pasar dunia yang semakin liberal, karena kebijakan unilateral dan ratifikasi kerjasama perdagangan internasional (regional dan global) yang harus dilakukan Indonesia.
Secara umum, perdagangan dunia didasarkan pada pemikiran bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif (absolut dan relatif) dan daya saing yang berbeda. Negara melakukan ekspor terhadap barang yang memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dan mengimpor barang yang lebih rendah keunggulan komparatifnya daripada negara lain. Dengan demikian, efisiensi penggunaan sumberdaya (yang langka) meningkat untuk mencapai tingkat kesejahteraan dunia yang lebih baik. Hal ini merupakan tesis dasar dari teori konvensional tentang perdagangan internasional (Samuelson dan Nordhaus, 1992 : 398-399). Teori ini kemudian berkembang seperti teori keunggulan daya saing (Porter, 1993) yang menjadikan harga dunia sebagai pengatur lalu lintas pertukaran barang antar negara. Semua teori perdagangan menyatakan bahwa perdagangan internasional memberikan manfaat bagi dunia (Gans, et.al, 2003: 172-178; Hardono, et.al, 2004: 78). Beberapa ekonom, seperti A.K. Cairncross, G. Haberler, J.R. Hicks dan J.S. Mill juga menyatakan beberapa manfaat yang diperoleh, terutama oleh negara berkembang, dari perdagangan internasional ini (Jhingan, 2007: 447-450). Manfaat itu antara lain terbukanya pasar dunia; biaya produksi yang rendah; meningkatkan investasi, pendapatan dan tabungan dari alokasi sumberdaya yang lebih efisien karena setiap negara akan berspesialisasi pada satu atau dua produk. Umumnya, negara berkembang memiliki pasar domestik yang lebih kecil dan produksi bahan-bahan pokok dengan teknologi sederhana. Perdagangan internasional memungkinkan terjadinya pertukaran antara produk-produk negara berkembang ini dengan negara maju yang memproduksi mesin-mesin dan produk jadi; transfer teknologi dan pengetahuan; serta bantuan modal asing.
Pemikiran di atas mendasari terbentuknya World Trade Organization, WTO oleh sebagian besar negara di dunia pada tahun 1995. Negara-negara anggota WTO sepakat untuk membuka pasar domestiknya bagi produk-produk negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan internasional yang bebas ini. Namun seiring berlalunya waktu, perdagangan internasional tidak memberikan manfaat yang seimbang antara negara maju dan negara berkembang. Perbedaan yang signifikan antara keduanya dalam hal teknologi, SDM, kebijakan domestik, modal, dan sebagainya menyebabkan perdagangan yang tidak adil bagi negara berkembang, seperti Indonesia. Negara-negara maju seperti Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) sebagai penggagas perdagangan bebas tidak mudah membuka peluang impornya (Yusdja, 2004: 127). Menurut data FAO 2006, UE menetapkan tariff barrier yang tinggi dan waktu impor yang terbatas bagi negara-negara lain, yaitu hanya periode Maret – Agustus (Sihombing, 2006). Tingginya ’initial rate tariff’ di negara-negara maju menyebabkan produk-produk negara-negara berkembang sulit menembus pasar negara-negara maju (Malian, 2004: 135).
Selain itu, menurut Pranolo, AS (melalui Farm Bill-nya) dan negara G-10 (Jepang dan Korea Selatan) memberikan subsidi ekspor kepada petani mereka antara $56,8 - $142,2 milyar, yang sangat merugikan petani-petani di negara berkembang seperti Indonesia (Malian, 2004: 137; Sihombing, 2006). Hal ini pula yang menyebabkan negara berkembang sulit bersaing dan semakin terpuruk dalam perjanjian WTO (Sawit, 2007:200).
Salah satu sektor yang masuk dalam WTO adalah sektor pertanian dengan disahkannya Agreement on Agriculture, AoA yang memiliki tiga pilar utama: market access, export promotion/subsidy, domestic support (Pranolo, 2000; Malian, 2004: 136; Sawit, 2004: 121; Achterbosch, et.al. 2004: 99-101; Swastika, et.al, 2006: 258; Lokollo, 2007: 305). Ketiga pilar utama ini merupakan komitmen-komitmen yang harus dilaksanakan negara-negara anggota WTO (tabel 1, omitted). Komitmen tersebut:

a. Penurunan tariff untuk seluruh produk pertanian:
1. Negara Maju (6 thn : 1995 – 2000): 36%
2. Negara Berkembang (10 thn : 1995 – 2004): 24%
b. Penurunan tariff minimum per produk:
1. Negara maju: 15%
2. Negara berkembang: 10%

c. Domestik Support (thn dasar 1986-1988), penurunan subsidi:
1. Negara maju: 20%
2. Negara berkembang: 13%
d. Eksport Subsidies (thn dasar : 1986 – 1990):
*Penurunan nilai subsidi:
1. Negara maju: 36%
2. Negara berkembang: 24%
*Penurunan volume subsidi:
1. Negara maju: 21%
2. Negara berkembang: 14%
Makalah ini akan membahas liberalisasi perdagangan internasional terkait dengan sektor pertanian. Berikutnya akan dibahas tentang pertanian Indonesia. Apakah pertanian Indonesia memperoleh manfaat dari perdagangan internasional adalah bahasan selanjutnya. Paper ini ditutup dengan beberapa catatan.

B. Liberalisasi Perdagangan Internasional: WTO
Kebijakan nasional pembangunan pertanian di suatu negara tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh eksternal dalam era globalisasi dengan ciri keterbukaan ekonomi dan perdagangan yang lebih bebas. Dengan demikian, akan sulit ditemukan adanya kebijakan nasional pembangunan pertanian yang lepas dari pengaruh-pengaruh tersebut. Demikian pula halnya dengan Indonesia, dimana kebijakan nasional pembangunan pertaniannya dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, antara lain: (a). kesepakatan-kesepakatan internasional (seperti WTO, APEC dan AFTA); (b). kebijakan perdagangan komoditas pertanian di negara-negara mitra perdagangan Indonesia; (c). lembaga-lembaga internasional yang memberikan bantuan kepada Indonesia terutama dalam masa krisis (Pranolo, 2000).
Sebagai salah satu anggota WTO, berarti Indonesia bersedia membuka pasar domestiknya bagi produk negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas (Yusdja, 2004: 127). Selain itu, sebagai anggota WTO, Indonesia juga telah meratifikasi pembentukan WTO melalui UU No. 7 Tahun 1994 Malian, 2004: 135). Pada akhir tahun 1997 Indonesia akhirnya meminta bantuan kepada IMF dan World Bank untuk stabilisasi perekonomian nasional, dimana kedua lembaga ini memberikan ‘stabilization package’ senilai US$ 43 milyar. Namun Indonesia harus memberikan imbalan berupa reformasi di bidang kebijakan ekonomi makro yang mempengaruhi perubahan kebijakan pembangunan pertanian. Salah satu komitmen Indonesia dengan IMF (15 Januari 1998) adalah menurunkan tariff (pajak bea masuk yang dikenakan bagi produk impor yang diambil dari prosentase nilai produk) untuk semua jenis pangan maksimum 5 persen, yang juga berarti pemerintah harus menghapuskan semua pembatasan investasi untuk perdagangan eceran (retail) dan besar (wholesale) serta memberikan perlakuan yang sama dalam kegiatan impor dan distribusi pangan domestik bagi BULOG dan swasta.
Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang masuk WTO, dengan disahkannya hasil Putaran Uruguay (Uruguay Round) WTO sebagai rangkaian dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tanggal 15 Desember 1993. Perundingan di bidang pertanian meliputi tiga pilar utama: a). subsidi/bantuan domestik (domestic support), b). promosi/subsidi ekspor (export promotion/subsidy), c). akses pasar (market access) (Pranolo, 2000; Malian, 2004: 136; Sawit, 2004: 121; Achterbosch, et.al. 2004: 99-101; Swastika, et.al, 2006: 258; Lokollo, 2007: 305).
Menurut Lokollo (2007: 305), dalam subsidi domestik dibahas masalah penentuan formula pemotongan subsidi domestik dan produk khusus (Special product). Pilar subsidi ekspor, dibahas terutama terkait dengan masalah penghapusan subsidi ekspor. Untuk pilar akses pasar, termasuk yang dibahas adalah bentuk formula penurunan tarif, Special Product (SP), Special Safe-guard Mechanism (SSM) untuk negara berkembang (usulan dari Indonesia sebagai koordinator G-33), Sensitive Product untuk negara maju (Achterboscch, et.al, 2004:97). Selain itu terdapat pasal tentang special and differential treatment – S&DT (disyaratkan untuk negara berkembang) untuk menunjang tecapainya keseimbangan tiga pilar perundingan di bidang pertanian ini, agar perundingan dengan negara maju lebih berimbang dalam KTM WTO (Hutabarat, dkk, 2007:1; Sawit, dkk, 2005: 95). Usulan Indonesia ini masuk dalam Kerangka Kerja Paket Juli (July Framework) 2004 di Jenewa (Sawit, dkk, 2005:95; Hutabarat dan Rahmanto, 2007).
Kerangka kerja yang disebut sebagai July Package di Jenewa 2004 berhasil menyatukan pendapat negara-negara anggota WTO untuk menghapus subsidi ekspor pertanian untuk waktu tertentu. Paket Juli ini merupakan terobosan baru menyelesaikan Doha Development Agenda dimana Indonesia berhasil memasukkan konsep Special Product dan Special Safeguard Mechanism (SP/SSM) yang bertujuan untuk melindungi petani dalam negeri yang berada di bawah garis kemiskinan. Konsep SP/SSM ini memberikan kesempatan kepada negara berkembang seperti Indonesia, untuk melindungi produk-produk pertanian yang peka terhadap gejolak dan terkait kuat dengan gejolak ketahanan pangan (food security), pembangunan pedesaan (rural development), pengentasan kemiskinan (livelihood security) (Hutabarat dan Rahmanto, 2007).

Tiga pilar utama AoA di atas selalu menjadi perdebatan dalam setiap pertemuan dan negosiasi KTM WTO. Hasil kesepakatan yang dicapai dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO di Hongkong akhir Desember 2005 menghasilkan kesepakatan yang terbilang maju dibanding beberapa KTM sebelumnya. Pada KTM WTO Hongkong ini negara-negara anggota setuju untuk mengurangi subsidi domestik dalam kategori distorsif sebesar 21 persen (negara maju) dan 13 persen (negara berkembang) sebagai kelanjutan kesepakatan KTM Jenewa 2004.

C. Pertanian Indonesia
Indonesia pernah mencatat prestasi yang cukup menggembirakan pada tahun 1995 dengan keberhasilan program swasembada pangan, sehingga WFP (World Food Programme) dari PBB dihentikan untuk sementara waktu. Namun kondisi pertanian saat ini jauh dari menggembirakan dimana para petani tidak menikmati kenaikan harga produk pertanian, utamanya beras (naik sekitar 33 persen) di pasar dunia. Bahkan Indonesia menghadapi kelangkaan pasokan beras dalam negeri sehingga masyarakat sulit mendapatkan beras dengan harga terjangkau.
Seperti negara lain, Indonesia mengalami transformasi dalam struktur ekonominya, yaitu dari sektor pertanian ke sektor industri. Terkait dengan perubahan struktur ekonomi suatu negara, Lewis mengasumsikan perekonomian suatu negara (terutama negara berkembang) dibagi menjadi dua, perekonomian di pedesaan yang didominasi sektor pertanian dan di perkotaan dimana sektor industri berperan utama. Perekonomian di pedesaan mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja akibat tingginya pertumbuhan penduduk dan karena perekonomian yang masih bersifat tradisional dan subsisten sehingga upah riil menjadi rendah (Subandi, 2007: 43). Hal ini juga didukung oleh teori pattern of development oleh Chenery (1975) yang berfokus pada transformasi dari pertanian tradisional (subsisten) ke sektor industri di negara berkembang. Menurut Chenery dan Syrquin (1975), peningkatan perubahan pendapatan masyarakat per kapita akan menyebabkan perubahan ke arah konsumerisme dari kebutuhan pokok ke barang-barang industri dan jasa (Subandi, 2007: 43).

Namun, kedua teori ini kontradiksi dengan realitas yang terjadi di Indonesia. Menurut kedua teori ini, tenaga kerja yang berlebih di sektor pertanian pedesaan akan bermigrasi dan terserap oleh sektor industri di perkotaan. Tetapi, kenyataannya jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri tetap lebih kecil dibanding sektor pertanian. Padahal proporsi sumbangan sektor pertaniaan dalam PDB Indonesia semakin lama semakin menurun (tabel 2, omitted).

Dari tabel 2 (omitted) di atas menunjukkan proporsi sektor pertanian terhadap PDB adalah terbesar, yaitu sebesar 51 persen daripada sektor lainnya, seperti sektor industri yang hanya sebesar 8,5 persen dari total PDB pada tahun 1968. Tetapi prosentase sumbangan sektor pertanian semakin lama semakin menurun hingga hanya sebesar 13,4 persen pada tahun 2005. Sedangkan sektor lainnya seperti sektor industri dan sektor gabungan meningkat menjadi masing-masing 28,1 persen dan 48,1 persen pada tahun yang sama.
Kontribusi sektor industri yang menunjukkan trend meningkat belum didukung oleh penyerapan tenaga kerja dengan trend yang sama, karena sampai saat ini sektor pertanian menyerap tenaga kerja lebih besar dibanding sektor industri (Tabel 3, omitted). Angkatan kerja yang terserap di sektor pertanian pada tahun 2006 sebesar 42,05 persen dari total tenaga kerja 95.456.935 orang dibanding sektor industri hanya sebesar 12,46 persen. Semua sektor mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2007 namun sektor pertanian tetap menduduki posisi teratas dalam menyerap tenaga kerja (sebesar 41,23 persen) dibanding sektor industri sebesar 12,38 persen.
Hal ini mendukung pernyataan yang dikemukakan oleh Subandi (2007: 44) bahwa struktur ekonomi Indonesia saat ini sebenarnya masih belum industrialisasi secara penuh karena adanya ketimpangan antara prosentase sumbangan sektor pertanian terhadap PDB dengan tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor ini. Dengan kata lain, struktur ekonomi Indonesia masih bersifat dualistik, teori yang dikemukakan oleh Boeke, yaitu sektor pertanian dan sektor industri (Jhingan, 2007: 201).

Dalam perjanjian pertanian WTO (AoA), Indonesia memasukkan empat komoditas strategisnya yaitu beras, jagung, gula dan kedelai, dimana keempat komoditas ini dikategorikan sebagai komoditas substitusi impor. Tabel berikut memperlihatkan perkembangan kondisi beras Indonesia selama periode tahun 1995 – 2002. Produksi beras Indonesia selama delapan tahun hanya memiliki kelajuan sebesar 0,11 persen, tingkat kelajuan ketersediaannya hanya sebesar 0,78 persen serta Indonesia menjadi net importir country untuk beras selama periode tersebut.

Menurut Malian (2004: 140), rendahnya pertumbuhan produksi beras dalam negeri disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a). Tingkat rendemen padi menurun karena penerapan teknologi yang tidak sesuai dan penggunaan mesin-mesin tua, dimana setiap penurunan satu persen rendemen padi akan menurunkan sekitar 0,5 juta ton beras; b). Kurangnya insentif dan rendahnya harga gabah saat panen raya sehingga petani memilih komoditas yang akan diusahakan; c). Harga pupuk dan pestisida yang meningkat serta turunnya upah tenaga kerja pasca krisis menyebabkan petani menurunkan tingkat intensifikasi yang diharapkan, sehingga produktifitas petani terus menurun; d). Program yang dijalankan pemerintah (seperti Raskin) telah merusak mekanisme pasar beras dalam negeri. Dengan kondisi seperti ini, usaha meningkatkan produksi beras dengan meningkatkan harga dasar dan penerapan tarif impor tidak akan mencapai sasaran.

Faktor utama pendorong meningkatnya permintaan jagung di pasar domestik disebabkan oleh usaha peternakan ayam yang berkembang pesat sehingga volume impor jagung meningkat dari tahun ke tahun. Ketersediaan jagung nasional selama periode tahun 1995 – 2002 hanya sebesar 2,29 persen per tahun sedangkan produksi meningkat 2,44 persen per tahun selama periode tersebut. Ekspor jagung Indonesia menunjukkan kecenderungan yang menurun sebaliknya laju impor jagung meningkat sebesar 22,27 persen untuk tahun 1995 – 2002 (Tabel 5, omitted).

Terkait dengan komoditas jagung, pemerintah mengalami dilema dalam upaya peningkatan produksinya. Laju peningkatan produksi jagung nasional sangat rendah menyebabkan naiknya impor jagung dua kali lipat sejak tahun 1998 untuk menutupi peningkatan kebutuhan konsumsi pabrik pakan yang lebih besar daripada peningkatan produksi nasional. Namun, di sisi lain, pemerintah membutuhkan pertimbangan khusus jika akan mengurangi impor melalui tarifikasi karena hal ini akan mematikan usaha peternakan nasional.


Untuk komoditas kedelai, produksi dalam negeri hanya mampumemenuhi kebutuhan konsumsi domestik sebesar 32 persen sedangkan sisanya dipenuhi melalui impor. Tabel 6 menunjukkan peningkatan impor kedelai dengan laju 35,41 persen per tahun, dimana impor meningkat tajam pada tahun 1999 yaitu 1,3 juta ton. Sebaliknya, produksi kedelai dalam negeri mengalami penurunan dengan laju sebesar 12,03 persen. Impor kedelai diperkirakan akan cenderung meningkat dengan dihapuskannya monopoli BULOG sebagai importir tunggal serta dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai kedelai. Selain itu AS sebagai eksportir utama kedelai memberikan subsidi ekspor sehingga menarik importir kedelai Indonesia untuk menggunakan fasilitas ini.

Peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan pertumbuhan industri makanan dan minuman memicu meningkatnya konsumsi gula nasional. Namun, tabel 7 menunjukkan laju peningkatan ketersediaan gula dalam negeri termasuk kecil, yaitu hanya 3,53 persen. Hal ini terjadi karena meningkatnya harga gula yang tajam pada tahun 1998 menyebabkan konsumsi per kapita gula menurun drastis. Selain itu itu, deregulasi industri gula pada tahun yang sama menurunkan produksi gula (1,48 persen per tahun) sehingga impor gula meningkat dengan laju peningkatan sebesar 26,64 persen. Produksi gula menurun tajam dari 2,19 juta ton menjadi 1,49 juta ton terjadi tahun 1998. Impor gula yang menurun dua tahun terakhir pada tabel 7 disebabkan adanya penerapan tarif impor yang berlaku 1 Desember 2000. (Malian, 2004: 142).

D. Pengaruh Perdagangan Internasional terhadap Pertanian Indonesia
Negara-negara berkembang anggota WTO cenderung mengalami dampak negatif dari liberalisasi perdagangan, termasuk Indonesia yang telah menjadi net-importir country beras sejak tahun 1995. Sedangkan negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa (UE) serta G-10 memperoleh manfaat yang signifikan dari AoA WTO tersebut. Hal ini terjadi karena keengganan negara-negara maju untuk mematuhi AoA yang telah disepakati terutama terkait dengan tiga pilar utama tersebut, mulai dari Putaran Uruguay, Doha Round, Cancun Meksiko, Jenewa sampai KTM WTO di Hong Kong 2005 (Arifin, 2007:199).
Tujuan dibentuknya WTO untuk menciptakan perdagangan bebas yang adil bagi semua negara (Pranolo, 2000) tidak terwujud dalam implementasinya. Liberalisasi perdagangan ini justru menciptakan ketidakadilan bagi negara-negara berkembang. Terkait dengan akses pasar misalnya, menurut data FAO 2006, UE menetapkan tariff barrier yang tinggi dan waktu impor yang terbatas bagi negara-negara lain, yaitu hanya periode Maret – Agustus (Sihombing, 2006). Selain itu, tingginya ’initial rate tariff’ di negara-negara maju menyebabkan produk-produk negara-negara berkembang sulit menembus pasar negara-negara maju (Malian, 2004:135). Subsidi ekspor dan dukungan domestik juga digunakan negara-negara maju dalam melindungi pasar produk pertanian dalam negerinya (Sawit, 2004; Malian, 2004:135). Menurut Pranolo, AS (melalui Farm Bill-nya) dan negara G-10 (Jepang dan Korea Selatan) memberikan subsidi ekspor kepada petani mereka antara $56,8 - $142,2 milyar, yang sangat merugikan petani-petani di negara berkembang seperti Indonesia (Malian, 2004:137; Sihombing, 2006). Hal ini pula yang menyebabkan negara berkembang bersaing dan semakin terpuruk dalam perjanjian WTO (Sawit, 2007:200). Bahkan, dalam AoA WTO tersebut tidak terdapat fleksibilitas yang memadai bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif (Malian, 22004:135).
Hasil penelitian IATP (Institute of Agriculture and Trade Policy) AS menyatakan bahwa AS melalui Bank Dunia dan WTO memaksa negara-negara berkembang untuk menurunkan tariff dan membuka pasar yang memudahkan MNC AS melakukan kegiatan bisnis pangan secara global yang terutama melayani pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia (Sawit, 2007:201). Penelitian IATP mendukung kondisi nyata negara-negara berkembang. Misalnya, Indonesia yang memasukkan 4 komoditas utama dalam AoA WTO, yaitu beras, jagung, kedelai dan gula (Arifin, 2007:196). Untuk ekspor, Indonesia malah tidak memberikan subsidi bagi produk pertanian yang diekspor karena anggaran pemerintah yang terbatas dan ketakberpihakan elit pemerintahan terhadap petani Indonesia (Sianturi, 2002; Arifin, 2007:201). Selain itu, Indonesia menetapkan tariff yang jauh lebih kecil dalam sektor pertanian daripada yang diperkenankan oleh WTO yang jelas merugikan petani produsen. Hal ini terlihat jelas pada empat komoditas strategis yaitu beras (30persen vs 160persen), jagung (0 persen vs 40persen), gula (25persen vs 95persen), dan kedelai (0persen vs 27persen) (Arifin, 2007:202; Malian, 2004:36; Swastika, et.al, 2006:259).
Komitmen lain yang pada kenyataanya tidak sesuai dengan klausul yang ada, adalah janji apabila subsidi ekspor dicabut dan pengurangan tarif bea masuk, maka nilai ekspor negara-negara berkembang akan mengalami peningkatan, bukti yang terjadi adalah kebalikannya. Dengan alasan SPS (Sanitary and Phytosanitary), negara-negara maju merancang berbagai argumen untuk menutup pasar ekspor dari negara berkembang. Selain itu, dengan kepemilikan tanah yang sempit, praktik bertani subsisten, dan penguasaan teknologi yang rendah, kemungkinan petani-petani dari Dunia Ketiga untuk melakukan ekspor sangatlah kecil.
Menurut Djafar (2006), keluarnya PERPRES No. 36 Tahun 2005 tentang pembebasan tanah bagi kepentingan umum, yang bertujuan untuk memudahkan investasi asing, akan semakin mempersempit ruang gerak pertanian dalam negeri. Selain itu pengurangan domestic support pertanian, menyebabkan pemerintah menetapkan kredit tani hanya diberikan sampai 2004 dan melakukan pengurangan subsidi pupuk secara bertahap. Kebijakan penetapan tarif impor sampai 0persen menyebabkan membanjirnya produk pertanian impor dalam pasar dalam negeri yang menggeser produk lokal yang kalah bersaing. Disamping itu, masuknya benih-benih transgenik yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan transnasional, seperti Monsanto, yang mengakibatkan hilangnya benih-benih lokal Indonesia. Padahal menurut Tim Bioteknologi UGM teknologi transgenik telah membunuh 37 orang di Amerika Serikat dan mengakibatkan 500 orang menderita cacat seumur hidup. Namun, pemerintah tetap memaksakan kebijakan ini. Kondisi pertanian Indonesia semakin diperparah dengan orientasi pembangunan yang dilakukan pemerintah, relatif mengesampingkan sektor pertanian pedesaan. Di samping itu, kebijaksanaan harga hasil pertanian dirasa berat bagi petani, yang nampak pada adanya kecenderungan menurunnya nilai tukar yang diterima petani, kecenderungan ini berakibat pada pendapatan petani yang rendah. Ini juga bertalian dengan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan petani serta kemampuan petani dalam meningkatkan investasi pada mutu modal manusia, yaitu pendidikan yang rendah.
Hasil studi yang dilakukan oleh Amang dan Sawit (1997) menunjukkan bahwa dampak liberalisasi perdagangan melalui WTO cukup serius bagi Indonesia, dalam bidang ekonomi dan non-ekonomi perpindahan faktor produksi yang relatif cepat dan singkat dari sektor pertanian ke sektor manufaktur) yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat secara umum (Hardono, et.al, 2004:83). Lebih lanjut, menurut Hardono (2004:83), studi yang dilakukan oleh Sitepu (2002) menunjukkan bahwa kebijakan penghapusan subsidi harga input berdampak pada penurunan produksi dan pendapatan petani. Pemberlakuan liberalisasi perdagangan (dengan penghapusan peran BULOG dalam pengadaan dan penyaluran gabah/beras serta penghapusan tarif) tidak efisien dan tidak tepat dilaksanakan karena keuntungan yang diterima konsumen lebih kecil daripada kerugian yang diderita produsen sehingga total net surplus berkurang. Akibatnya kebijakan ini merugikan petani kecil yang umumnya miskin dan akan memperburuk distribusi pendapatan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut yang menunjukkan jumlah dan prosentase penduduk miskin Indonesia periode tahun 1996 – 2005. Prosentase terbesar penduduk miskin Indonesia selama 10 tahun berada di daerah pedesaan yang memiliki mata pencaharian utama dari sektor pertanian.

Kondisi ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba, et.al (2007) dalam menilai dampak perdagangan bebas di sektor pertanian melalui WTO yang menggunakan model Agricultural Trade Policy Simulation Model (ATPSM). Menurut model ATPSM ini kesejahteraan total dihitung berdasarkan penjumlahan dari surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah. Liberalisasi perdagangan lebih banyak memberi keuntungan bagi negara maju melalui peningkatan kesejahteraan total terutama skenario Harbinson 2 dan sebaliknya merugikan negara berkembang termasuk Indonesia. Negara maju mengalami total kesejahteraan yang diperoleh dari selisih surpulus produsen dan konsumennya. Penurunan tarif bea masuk akan menurunkan surplus produsen negara yang mengenakan tarif, tetapi konsumennya akan mengalami peningkatan surplus sehingga kerugian produsen dapat diimbangi oleh keuntungan konsumen. Sebaliknya, liberalisasi perdagangan meningkatkan surplus petani produsen negara berkembang termasuk Indonesia, tetapi menurunkan surplus konsumennya sehingga total kesejahteraan menunjukkan angka negatif (tabel 9, omitted). Jika mekanisme distribusi pendapatan secara internal belum efektif seperti yang umumnya terjadi di negara berkembang, kesenjangan manfaat ini akan menimbulkan dampak sosial. Ini merupakan salah satu faktor penyebab liberalisasi perdagangan di sektor pertanian ditolak banyak pihak (Purba, 2007: 99).

Beberapa ekonom lainnya seperti Myrdal, Presbisch, Singer serta Bhagwati juga menyatakan perdagangan internasional menyebabkan terjadinya ketimpangan dan kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang. Myrdal mengemukakan teori mengenai dampak balik (backwash effects) dan dampak sebar (spread effects) yang disebabkan adanya ketimpangan regional pada tingkat nasional dan internasional. Di negara berkembang, dampak balik (semua perubahan yang merugikan dari ekspansi ekonomi di suatu tempat karena faktor eksternal) cenderung membesar dan sebaliknya dampak sebar (dampak momentum pembangunan yang menyebar secara sentrifugal dari pusat ke wilayah lainnya) cenderung mengecil sehingga menyebabkan ketimpangan (Jhingan, 2007: 212). Ketimpangan regional terjadi karena adanya kekuatan pasar yang bebas dengan motif laba sehingga pembangunan terpusat pada suatu wilayah tertentu yang menyebabkan terjadinya migrasi tenaga kerja, modal dan perdagangan. Negara maju yang memiliki basis industri yang kuat mengekspor hasil industrinya ke negara berkembang dengan harga murah. Hal ini mematikan industri kecil negara berkembang sehingga didorong untuk mengekspor produk-produk primer yang harganya berfluktuasi (permintaannya bersifat inelastis di pasar ekspor). Pernyataan Myrdal tentang akibat perdagangan bebas antara negara maju dan negara berkembang adalah awal dari suatu upaya pemiskinan dan stagnasi tercermin dengan jelas dalam perjanjian pertanian (AoA) WTO.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Presbisch dan Singer (Jhingan, 2007: 450) yang menyatakan bahwa perdagangan justru menghambat pembangunan di negara berkembang karena adanya: a). Dampak negartif dari pergerakan modal internasional, b). Demonstration effects internasional, c). Kemerosotan imbangan perdagangan barang (coomodity terms of trade). Investasi luar negeri yang menghasilkan produk primer akan meruikan produksi domestik, karena sektor domestik lebih bersifat padat karya sedangkan sektor ekspor bersifat padat modal yang tidak mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Terkait dengan term of trade terajdi pengalihan pendapatan dari negara berkembang ke negara maju karena manfaat dan keuntungan perdagangan mengalir ke negara maju. Lebih jauh, Singer (1950: 477) mengemukakan bahwa spesialisasi pada ekspor bahan makanan dan bahan mentah tidak menguntungkan bagi negara berkembang karena a). Menjauhkan pengaruh kumulatif dari investasi dari negara berkembang ke neagara maju, b). Mendorong negara berkembang kepada kegiatan yang memiliki lingkup kurang bagi kemajuan teknis dan ekonomi internal dan eksternal. Dengan kata lain, menurut Singer, perdagangan hanyalah usaha yang bertujuan membuka pasar-pasar baru di negara berkembang bagi produk-produk industri negara maju (Singer, 1950: 475). Bhagwati mengemukakan hal yang sama dalam teorinya Immiserizing Growth (pertumbuhan yang memiskinkan) yaitu ekspansi ekonomi melalui perdagangan dapat membahayakan negara berkembang, dimana ekspansi ekonomi meningkatkan output namun dapat menyebabkan dampak buruk pada terms of trade yang menghilangkan manfaat ekspansi ekonomi dan mengurangi pendapatan riil di negara berkembang (Bhagwati, 1958: 201).

E. Penutup
Sektor pertanian sangat memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber devisa (salah satu komoditi ekspor) sehingga merupakan sumber pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan hal itu, perekonomian dunia saat ini memasuki era sejarah baru dimana ekonomi dan budaya nasional serta batas-batas geografis kenegaraan sudah kehilangan makna oleh sebuah proses ‘globalisasi’ yang berjalan cepat. Indonesia yang menganut perekonomian terbuka juga sangat sulit untuk mengelak dari dinamika ekonomi internasional yang semakin mengglobal ini. Sejalan dengan itu terjadi perubahan mendasar di pasar internasional yaitu liberalisasi perdagangan untuk sektor pertanian dengan terbentuknya World Trade Organization (WTO) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi melalui perdagangan internasional yang adil dan saling menguntungkan.
Namun, tujuan yang ingin dicapai dalam perjanjian pertanian WTO, yaitu untuk membentuk perdagangan yang adil dengan sistem perdagangan produk pertanian berorientasi pasar, tidak terlaksana. Posisi negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) dalam banyak hal tidak seimbang dengan negara-negara maju, bahkan tidak merasakan manfaat secara optimal dari keikutsertaannya sebagai anggota WTO (Hutabarat, dkk, 2007: vi). Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian tidak memberikan keuntungan yang seimbang bagi negara berkembang seperti yang diperoleh negara maju, karena mengancam pasar domestik, terutama kesejahteraan petani produsen di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

No comments: