Wednesday, August 13, 2008

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA


“Kemiskinan adalah ketakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas (Ravallion, 2001)”
“Ada desa-desa dimana posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup menenggelamkan mereka (Tawney, 1931)”
“Jika Anda memberikan ikan kepada seseorang, Anda memberinya makan untuk satu hari. Jika Anda mengajarnya menangkap ikan, Anda memberinya makan seumur hidup (pepatah Cina, WIM Poli, dkk, 2006: 20)

Premis:
Penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab semua pihak (pemerintah, organisasi sosial/swasta, dan masyarakat) yang diarahkan pada peningkatan taraf hidup ekonomi dan pendidikan serta pemberdayaan masyarakat.

1. Pendahuluan
Masalah kemiskinan bukanlah hal baru dalam sejarah kehidupan manusia di muka bumi. Kemiskinan telah ada sejak dahulu kala, dimana pada masa itu masyarakat menjadi menjadi miskin karena kurangnya kemudahan dan materi, bukan karena krisis pangan. Kemiskinan telah mempersempit ruang bagi masyarakat untuk memperoleh sebelas macam hak dasanya: pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan), pekerjaan yang layak, perlindungan hukum,rasa aman, kesehatan, pendidikan, partisipasi public dan politik, hak berinovasi, hak menjalankan hubungan spiritual dengan Tuhan serta hak berpartisipasi dalam pemerintahan (Sahdan, 2005).

Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena dampak krisis moneter yang berujung krisis ekonomi tahun 1997 sampai saat ini masih bergulat dengan persoalan kemiskinan. Sebelum krisis ekonomi, jumlah penduduk miskin Indonesia adalah 22,5 juta jiwa (1996) meningkat menjadi 49,5 juta jiwa tahun 1998 atau sekitar 24,23% dari jumlah penduduk Indonesia, dimana 31,9 juta jiwa pend9uduk miskin tersebut hidup di pedesaan dan sisanya 17,6 juta jiwa hidup di perkotaan (BPS 2006, Data diolah dari Survei Sosial Ekonomi, Susenas).

Jumlah penduduk miskin Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2005 mengalami penurunan dari 38,7 juta jiwa (19,14%) menjadi 35,1 juta jiwa (sekitar 15,97%). Namun angka ini meningkat menjadi 17,75% pada tahun 2006 meskipun mengalami sedikit penurunan pada tahun 2007 yaitu 16,58%. (BPS, 2006; Dep.Keu, 2008).

Grafik-grafik berikut (omitted) menunjukkan tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran dan pertumbuhan GDP di Indonesia selama tahun 2000 – 2006. Ketiga hal ini saling terkait dimana tingkat kemiskinan dapat disebabkan oleh tingginya tingkat pengangguran (lihat Singer and Jones, 1994) dan rendahnya tingkat pertumbuhan GDP.


Kondisi ini semakin diperparah dengan naiknya harga beras (33%) dan minyak mentah di pasar internasional yang menembus angka lebih dari $100/barrel (143%). Kelangkaan minyak tanah, gas elpiji, dan beras membuat rakyat semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, pelayanan kesehatan yang berakibat banyaknya anak-anak Indonesia yang menderita gizi buruk, bahkan berujung kematian. Sebut saja misalnya 1500 dari 200 ribu balita menderita gizi buruk di Yogyakarta, di Riau sebanyak 166.167 balita (33,3%) dari 499.000 balita menderita gizi buruk selama tahun 2007 dan serta kota-kota lainnya seperti di NTT, sejumlah propinsi di pulau Jawa dan Sulsel (terdapat 67 kasus gizi buruk) (Kurniawan, 2008).
Selain itu, kemiskinan juga menyebabkan banyaknya orang tua tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Ada tiga alasan utama anak-anak Indonesia tidak bersekolah: kurangnya dana orangtua (35,78%), mereka harus bekerja membantu orang tua (23,56%) dan sebanyak 15, 77% karena menikah (BPS, 2006). Kemiskinan juga menjadi alasan sempurna penyebab rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (Human Development Index, HDI). Laporan HDI 2004 (menggunakan data 2002) menunjukkan Indonesia berada di urutan ke-111 dari 177 negara dengan angka indeks 0,692 (Sahdan, 2005). Angka indeks HDI adalah komposit dari angka harapan hidup, tingkat melek huruf, jumlah partisipasi terhadap jenjang pendidikan (dasar – menengah – tinggi) serta GDP per kapita. Meskipun peringkat HDI Indonesia meningkat menjadi urutan 110 (tahun 2005), 108 (tahun 2006) dan 107 (tahun 2007), namun masih jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya, bahkan berada dua peringkat di bawah Vietnam tahun 2007.

Upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan pemerintah dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan lapangan kerja, pembangunan prasarana dan pendampingan, pembangunan sektor pertanian, pemberian dana bergulir, penyuluhan sanitasi, dan lain-lain. Namun, keberlanjutan upaya ini sangat bergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah karena semuanya berorientasi material. Dengan kata lain, kajian mengenai kemiskinan berdasar pada paradigma modernisasi (the modernization paradigm) dan the product centered model yang didasarkan pada teori pertumbuhan ekonomi (Gunawan dan Sugiyanto, 2004).

2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka rumusan masalah yang diajukan adalah: “Mengapa peningkatan taraf hidup ekonomi dan pendidikan serta pemberdayaan masyarakat dapat dijadikan sebagai langkah dasar dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia?

3. Tinjauan Pustaka
Menurut Nasikun (1995) yang dikutip oleh Gunawan dan Sugiyanto (2004), kemiskinan adalah sebuah fenomena multidimensional dimana hidup miskin diartikan tidak hanya hidup kekurangan dalam hal papan, sandang dan papan tetapi juga berarti akses yang rendah terhadap bermacam sumberdaya dan asset produktif yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan yang paling dasar tersebut. Kemiskinan menurut BPS, adalah kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2100 kalori/kapita/hari. Kemiskinan dapat pula diartikan sebagai kondisi dimana tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1/hari (World Bank). Menurut BAPPENAS (2002), kemiskinan adalah suatu kondisi yang dialami oleh seseorang/ kelompok orang yang tidak mampu menjalankan hidupnya sampai suatu taraf yang dipandang manusiawi (Sumedi dan Supadi, 2004). Kemiskinan dapat pula diartikan sebagai: (a). lacking of both money and basic necessities needed to successfully live such as food, water, education and shelter, (b). the economic condition of lacking predictable and stable means of meeting basic life needs. (Hasanuddin, 2008).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan dibedakan dalam empat dimensi: (a). dimensi ekonomi: ketidakmampuan mansyarakat memenuhi kebutuhan dasarnya akibat rendahnya penghasilan (lack of choice); (b). dimensi politik: rendahnya kemampuan berpartisipasi dalam politik (lack of voice); (c). dimensi sosial: rendahnya status sosial dalam masyarakat (lack of status); (d). dimensi psikologis: rendahnya rasa percaya diri (lack of self-confidence) (WIM.Poli, dkk, 2006: 81). Karenanya, ciri-ciri masyarakat miskin adalah: (a). minimnya akses politis dalam proses pengambilan keputusan terkait hidup mereka, (b). tersingkir dari lembaga sosial masyarakat yang utama, (c). rendahnya kualitas SDM, kesehatan, pendidikan, keterampilan yang berpengaruh terhadap rendahnya penghasilan secara ekonomi, (d). memiliki budaya/nilai etos kerja yang rendah, berpikir praktis dan fatalism, dan (e). minimnya kepemilikan aset fisik, seperti aset lingkungan hidup (air bersih dan penerangan).
Menurut Valeriana Darwis (2004), faktor penyebab kemiskinan dapat dibagi dua: faktor internal (SDM dan SD fisik), dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keluarga miskin rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah (tidak tamat SMP). Terkait dengan SD fisik, sebagian besar respondennya memiliki kondisi rumah yang jauh dari layak untuk ukuran kesehatan ideal. Selain itu hasil risetnya menunjukkan bahwa penduduk miskin memiliki lahan pertanian yang kecil (0,16 ha) bahkan banyak diantaranya hanya sebagai petani penggarap. Faktor kedua adalah faktor eksternal (potensi/keadaan wilayah, sarana/prasarana, kelembagaan, aksesibilitas terhadap: produksi, modal, pasar dan faktor ekonomi lainnya), dimana hasil riset ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk yang berkategori miskin hidup dalam wilayah yang kurang potensial dan memiliki akses yang rendah terhadap faktor-faktor ekonomi yang mendukung mereka untuk hidup cukup.
4. Fakta
a. Data kemiskinan:

1. Menurut data (BPS, 2006), tingkat kemiskinan di Indonesia pernah mengalami penurunan dalam kurun waktu 20 tahun (1976 – 1996) yaitu dari 40,1% menjadi 11,3% sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia. Setelah krisis, prosentase penduduk miskin semakin meluas (lihat grafik 2) bahkan hingga mencapai 16,58% (2007) dari total penduduk Indonesia (Depkeu, 2008).
2. 87 % dari masyarakat miskin memiliki kepala rumah tangga dengan pendidikan SD; 60% diantaranya hidup dari sektor pertanian; 75% hidup di pedesaan, 61% hidup di pulau Jawa; serta wilayah paling miskin tersebar di Kawasan Timur Indonesia. (Susenas, 1999).
3. Kesenjangan jender: tingkat buta huruf perempuan 20%, lebih tinggi daripada laki-laki yang hanya 9%; 71% dari kategori pekerja yang tidak dibayar adalah perempuan; hanya 7% dari pejabat dan manajer senior adalah perempuan; keterwakilan perempuan pada sektor politik masih rendah (10% dari anggota DPR)(Susenas, 1999;UNDP, 1999; World Bank, 2000).

b. Kegagalan berbagai program pemerintah (Sahdan 2005):
1. Program-program:
Ø Kredit Usaha Tani (KUT) dengan plafon Rp. 8,4 triliun tahun 1998 gagal karena tidak benar-benar memberdayakan masyarakat sehingga per September 2000 tunggakan KUT mencapai Rp. 6,169 triliun (73,69%) dari realisasi kredit.

Ø Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang pada tahun 2004 berhasil, tetapi gagal karena bank sulit menyalurkan kredit dan petani sulit membayar bunganya.

Ø Program Pengembangan Kecamatan (PPK) bertujuan mengurangi kemiskinan gagal karena perencanaan yang tidak matang, kurangnya transparansi alokasi dan penggunaan anggaran kepada masyarakat desa.

Ø Program Padat Karya Desa – Pengembangan Wilayah Terpadu (PKD – PWT) di NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, NTB; gagal karena proses perencanaan, pelaksanaan dan penyaluran bantuan sangat tergantung pada TPD (Tim Pelaksana Desa).

2· Subsidi (BBM, pupuk, dll) pemerintah tidak efektif membantu masyarakat lepas dari kemiskinan karena justru dinikmati oleh orang-orang kaya.

c. Program pemerintah setelah krisis ekonomi (Depkeu, 2008):
1. Anggaran program kemiskinan dalam APBN yang meningkat dari tahun ke tahun, seperti digambarkan grafik berikut (omitted): 28 triliun rupiah (2004) menjadi 53 triliun rupiah (2008).

2· Alokasi anggaran 2008 Rp. 5,22 triliun meliputi: (a). Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat dan PNPM pedesaan = Rp. 3, 59 triliun untuk 2.389 kecamatan (2007 = Rp. 1,45 triliun); (b). Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah/ Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) = Rp. 685,4 miliar untuk 955 kecamatan (2007 = Rp. 1,48 triliun); (c). Program Keluarga Harapan = Rp. 939,7 miliar untuk 700 ribu rumah tangga sangat miskin (RTSM) (2007 =Rp. 720,1 miliar).

3· Peningkatan Akses Pendidikan bagi penduduk miskin: (a). BOS Rp. 12,6 triliun untuk 41, 9 juta siswa (2007 = Rp. 10,4 triliun untuk 35,2 juta siswa); (b). Beasiswa untuk siswa miskin Rp. 2,25 triliun untuk 1,8 juta siswa SD-SMP, 650 ribu siswa MI-MTs, 732 ribu siswa SMA, 210 ribu siswa MA, dan 210, 6 ribu mahasiswa PT-PT agama.

4· Peningkatan akses kesehatan bagi penduduk miskin (Askeskin): (a). Pelayanan kesehatan di Puskesmas Rp. 1 triliun untuk 76,8 juta RTSM (2007 = Rp. 1 tirliun untuk 76,8 juta RTSM); (b). Pelayanan kesehatan kelas III Rumah Sakit Rp. 3,7 triliun untuk 76,8 juta RTSM (2007 = Rp. 2,4 triliun untuk 76,4 juta RTSM).

5· Subsidi yang pro poor: (a). Subsidi pangan Rp. 6,6 triliun untuk 19,1 juta rumah tangga miskin (2007 = Rp. 6,6 triliun untuk 15,8 juta RTM); (b). Subsidi bunga kredit Rp. 2,1 triliun (2007 = Rp. 1,6 triliun) untuk kredit ketahanan pangan (KKP), KPRSh, kredit energi alternative, kredit bunga untuk pengusaha NAD; (c). Subsidi minyak goreng Rp. 600 miliar (2007 = Rp. 325 miliar).

6· Peningkatan akses berusaha: (a). Credit scheme untuk UMKM melalui kredit pedesaan BRI; (b). Pemberdayaan UMKM dengan perbaikan akses kepada sumber-sumber keuangan, memperluas pasar bagi produk-produk UKM dan reformasi regulasi

5. Metode:
Penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan melalui:

a. Program penyelamatan
Program penyelamatan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah seperti JPS (di bidang pendidikan, pangan, kesehatan dan sosial) tetap diperlukan untuk mengatasi kemiskinan pada tahap awal (Sumedi dan Supadi, 2004), tetapi hal itu hanya bersifat temporer (WIM Poli, 2008).

b. Program penciptaan lapangan kerja
Usaha penciptaan lapangan kerja di segala bidang yang dapat membantu masyarakat keluar dari kemiskinan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga perusahaan swasta, organisasi sosial (LSM) dan masyarakat sendiri. Perusahaan misalnya, melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) melakukan mitra usaha dengan pengusaha kecil sehingga dapat berkembang dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Contohnya, Pertamina dengan mitra usaha perajin batik tanah liek (Bu Hj. Wirda Nahim) di Sumatera Barat (Smile, Metro TV, 2008). Juga usaha seorang penyandang cacat, Muhammad Junaid yang memberdayakan penyandang cacat untuk mandiri dengan melatih dan mendidik mereka untuk mandiri dengan usaha menjahit dengan dana pribadi (Kick Andy, Metro TV, 2008) adalah realitas peran serta masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan.

c. Program pemberdayaan
Program pemberdayaan dalam jangka pendek untuk mengatasi krisis, pembangunan prasarana, penanggulangan kemiskinan di perkotaan, program kemandirian ekonomi rakyat, program kredit usaha keluarga sejahtera, dan sebagainya yang selama ini dilakukan pemerintah harus tetap dilanjutkan untuk menanggulangi kemiskinan (Sumedi dan Supadi, 2004).
Pemberdayaan harus meliputi semua aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, sosial, budaya dan politik), karena persoalan kemiskinan adalah persoalan multidimensional (Mujiran, 2003).
Pemberdayaan yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhannya tanpa menghambat pemenuhan kebutuhan generasi masa depan, di dalam konteks sosial-budaya, di antara keluarga bangsa dan bangsa-bangsa yang bermartabat, sehingga dapat terlepas dari empat dimensi kemiskinan (WIM Poli dkk, 2006:81; WIM Poli, 2008).

Hal ini dapat dilihat pada kasus Grameen Bank dimana Muhammad Yunus memberdayakan masyarakat miskin di Bangladesh dengan mendirikan sebuah bank yang berpihak pada kaum miskin. Di Indonesia, hal yang sama dilakukan oleh Bupati Jayapura (Habel Melkias Suwae, S.Sos, MM) yang memberdayakan masyarakat asli Papua melalui Program Pemberdayaan Distrik dengan melaksanakan tiga prinsip pemberdayaan masyarakat lokal: (a). Community-oriented, (b). Community-based, dan (c). Community-managed (WIM Poli, dkk, 2006: 89).
Di bidang pendidikan, pemberdayaan ini juga dilakukan oleh seorang Elizabeth di wilayah Kemang, Jakarta Selatan yang membuka kelompok bermain dan TK Pelangi untuk anak-anak miskin berumur 3 – 5 tahun tanpa dipungut bayaran. Di bidang kesehatan, terdapat tiga entrepreneur muda (Andy Lim, Vanessa Wen dan Prasetya Boogie) yang mendirikan Yayasan Untaian Kasih bagi anak-anak penderita kanker yang kurang mampu (Oasis, Metro TV, 2008).

Pemberdayaan (WIM Poli, 2006, 2008) ini tidak hanya ditujukan pada faktor fisik yang nampak tetapi juga pada faktor moral yang tidak nampak, seperti modal sosial (hubungan antar masyarakat), modal spiritual intelligence (nilai-nilai agama), pembentukan perilaku yang kesemuanya harus dilakukan sejak usia dini. Sikap keberpihakan pada sesama yang kekurangan yang diwujudkan dalam tindakan nyata adalah buah dari nilai (moral dan agama) yang dianut dan kesetiaan manusia untuk mendengar suara hati yang mampu melihat sesuatu hal dengan mata, hati dan semangat orang lain (Stephen R. Covey dalam WIM Poli, dkk, 2006: 39).

6. Kesimpulan
Penanggulangan kemiskinan adalah tanggung jawab semua pihak, pemerintah, organisasi sosial dan swasta, masyarakat dengan peningkatan taraf hidup ekonomi, peningkatan mutu pendidikan serta pemberdayaan masyarakat. Langkah pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan yang selama ini bersifat top-down sudah saatnya dirubah karena terbukti menemui kegagalan dalam implementasinya. Perumusan strategi penanggulangan kemiskinan harus mengakomodasi suara rakyat yang menderita kemiskinan (bottom-up) agar program yang dijalankan tepat sasaran dan berkelanjutan.

Pemberdayaan masyarakat dalam arti seluas-luasnya perlu terus digalakkan oleh semua pihak di semua aspek kehidupan masyarakat dengan menitikberatkan pada upaya mengubah tata nilai dan perilaku masyarakat sejak usia dini. Usaha pemberdayaan ini dilakukan dengan membangun faktor yang nampak (fisik) dan mengembangkan faktor yang tidak nampak, seperti budaya lokal masyarakat setempat, nilai-nilai moral dan agama.

No comments: