Wednesday, August 13, 2008

ARAH PEMBANGUNAN INDONESIA

“The greatest advances of civilization, whether in architecture or painting, in science and literature, in industry or agriculture, have never come from centralized government. (Milton Friedman)”
“… Sama saja dengan membangun rumah; bila masyarakat tidak ikut membangun, ia hanya tidur di rumah tersebut tapi tidak tahu bagaimana merawatnya. (Julius Alberth Karay, dalam WIM Poli, 2006:97).

Premis:
Pembangunan Indonesia harus diarahkan pada pembangunan yang terintegrasi dan berkelanjutan (integrated and sustainable development) di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
1. Pendahuluan
Pembangunan Indonesia pada masa Orde Baru berkuasa menitikbertakan pada pembangunan di bidang ekonomi dengan ciri khas pertumbuhan ekonomi dengan tolok ukur tingkat GDP per kapita yang tinggi setiap tahun. Pola pembangunan semacam ini masih bersifat konvensional yang mengartikan keberhasilan pembangunan hanya pada meningkatnya investasi asing, komersialisasi dan privatisasi sector-sektro strategis yang melayani kebutuhan rakyat banyak. Fokus pembangunan pada bidang ekonomi ini bertujuan untuk menciptakan trickle-down effect hasil pembangunan ke pada masyarakat secara luas. Besarnya perhatian pemerintah dalam bidang ini menyebabkan pemerintah seolah ‘melupakan’ masalah sosial lain yang timbul seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dalam distribusi pendapatan serta kerusakan lingkungan akibat pembangunan di bidang ekonomi.
Masalah kemiskinan misalnya telah menjadi salah satu faktor penting rendahnya angka HDI Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir di antara negara-negara Asia Tenggara, apalagi jika dibandingkan dengan Jepang, China dan Korea. Pada tahun 2005 Indonesia hanya menduduki peringkat 110, dua peringkat di bawah Vietnam. Peringkat Indonesia naik pada tahun 2006 menjadi 108 setingkat lebih tinggi pada tahun 2007 (107), seperti yang digambarkan dalam tabel berikut (omitted).
Reformasi yang bergulir sejak Mei 1998 telah menyebabkan perubahan pada sebagian besar sendi-snedi kehidupan bangsa Indonesia dengan elemen-elemen reformasi seperti demokratisasi, desentralisasi dan pemerintahan yang bersih. Ketiga elemen utama ini telah memicu: (a). terciptanya hubungan baru antara pemerintah dengan masyarakat madni dan dunia usaha, (b). hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, (c). penciptaan transaparansi dan akuntabilitas, (d). partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan pembangunan. Dengan kata lain, reformasi telah menuntut perlunya pembaharuan dalam sistem perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan negara secara nasional (Suzetta, 2007).
Pembangunan nasional Indonesia harus mengakomodasi semua aspek kehidupan masyarakatnya (ekonomi, pendidikan, sosial budaya, politik dan lingkungan hiddup) dengan melibatkan semua elemen bangsa: pemerintah (pusat dan daerah), unsur swasta/LSM dan masyarakat itu sendiri. Pembangunan yang selama ini dilakukan hanya menitikberatkan pada satu aspek saja (ekonomi) dari kehidupan masyarakat yang kemudian menimbulkan efek negativ pada aspek hidup lainnya. Kesenjangan antara masyarakat kaya dengan miskin yang semakin lebar (akibat) pembangunan yang bersifat konglomeratif) menimbulkan masalah sosial seperti meningkatnya tindak kriminalitas adalah contoh kecil dari ekses pembangunan selama ini. Hal ini juga dapat dilihat pada aspek politik, seperti kebijakan pemerintah hanya menguntungkan segelintir orang saja, pemilihan kepala pemerintahan (pusat dan daerah) yang nantinya hanya akan mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang memberikan sumbangsih (terutama finansial) dengan melupakan janji-janji manis perbaikan taraf hidup rakyat miskin.
Pada akhirnya kondisi kemiskinan akan mempengaruhi rendahnya produktifitas, pendapatan, dan kurangnya modal (sisi permintaan) dan dari sisi penawaran akan menyebabkan rendahnya tabungan masyarakat karena rendahnya pendapatan sehingga tidak mampu berinvestasi. Hal ini akan menciptakan tiga lingkaran setan kemiskinan, dimana sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi merupakan dua istilah yang sinonim (Jhingan, 2007: 34).

Kondisi lingkungan hidup juga ikut terkena imbas negatif dari pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi semata. Pencemaran lingkungan (darat, laut/danau/sungai dan udara) akibat pembangunan pabrik-pabrik dan eksploitasi SDA yang berlebihan adalah harga yang harus dibayar mahal tidak saja oleh Indonesia tetapi juga masyarakat internasional. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena kegiatan ekonomi manusia selalu berinteraksi dengan SDA dan lingkungan hidup tempatnya berada, seperti yang digambarkan dalam skema berikut (omitted):

Dari skema di atas (omitted) jelas menunjukkan efek negatif dari aktifitas ekonomi manusia terhadap lingkungan hidu, yaitu rusaknya ekosistem udara, laut dan darat. Masa depan bumi akan terancam apabila pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan masih terus diterapkan oleh semua negara termasuk Indonesia.

2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah “Mengapa pembangunan Indonesia harus diarahkan pada pembangunan yang terintegrasi dan berkelanjutan (integrated and sustainable development) di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup?”

3. Tinjauan Pustaka
Menurut UU no 25 tahun 2004, definisi Pembangunan Nasional adalah:
“upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara dan diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional.”

Paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi cepat (rapid growth economic) dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup telah menegasikan elemen pembangunan lainnya, seperti lingkungan hidup. Implikasinya, saat ini, kondisi lingkungan hidup telah bergeser yang semula sebagai elemen penopang pembangunan menjadi salah satu ancaman bagi hasil pembangunan itu sendiri baik terhadap generasi saat ini maupun yang akan datang (Subagiyo, 2008). Lebih jauh, menurut Reppeto & Gillis, 1988; Barber, 1989; Poffenberger, 1990, 1999; Peluso, 1992; Berdan dan Masimio, 1994; Nurjaya, 2001, kerusakan hutan tropis yang terjadi di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, misalnya, cenderung bersumber dari implementasi paradigma penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang didominasi negara (state-dominated forest control and management) semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (Nurjaya, 2008).

Dengan demikian, pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat masa kini tanpa harus mengurangi potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat pada generasi – generasi masa mendatang (Suzetta, 2007; Kementrian Lingkungan Hidup, 2004). Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dimaksud adalah: (a). kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, (b). dengan menggunakan sumberdaya yang ada pada diri dan lingkungannya, (c). dengan tidak menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa depan, (d). menuju tingkat kehidupan yang lebih tinggi, (e) .dengan atau tanpa bantuan dari luar, (f). dalam batas hukum & HAM yang universal. (W.I.M. Poli, 2008).

Deklarasi Rio tahun 1992 yang dilahirkan dalam KTT Bumi (Earth Summit) menjadi tonggak keprihatinan dunia dalam menghadapi krisis pembangunan dan lingkungan. WSSD (World Summit on Sustainable Development) di Johannesburg tahun 2002 menegaskan strategi implementasi dari pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan menginginkan adanya pendistribusian hak-hak atas sumber daya alam dan lingkungan hidup secara adil baik bagi generasi saat ini maupun masa datang. Selain itu, konsep pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya integrasi kepentingan ekonomi, sosial, dan perlindungan daya dukung lingkungan hidup secara seimbang dan berkeadilan dalam pembangunanparadigma pembangunan menuju pembangunan yang berkelanjutan, berbasis rakyat, dan berkeadilan). Hal ini memerlukan tata pemerintahan yang baik dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam (Good Sustainable Development Governance-GSDG). Perwujudan GSDG menuntut 9 kondisi dalam tata pemerintahan, yaitu: 1) Adanya lembaga peradilan yang mandiri, profesional dan berintegritas, 2) Adanya lembaga perwakilan rakyat yang responsif dan menjalankan pengawasan secara efektif, 3) Adanya lembaga pemerintah yang transparan, partisipatif, dan bertanggungjawab, 4) Adanya desentralisasi yang demokratis dan lembaga perwakilan daerah yang efektif, 5) Adanya masyarakat sipil yang kuat, 6) Adanya mekanisme pencegahan, penanganan, dan pemulihan konflik, 7) Adanya pemberantasan kemiskinan melalui keterbukaan bagi akses masyarakat terhadap public resources secara berkeadilan, Adanya perubahan pola konsumsi dan produksi yang ramah lingkungan, dan 9) Adanya kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan berbasis pada keadilan rakyat (Subagiyo, 2008).

4. Fakta
a. United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)
mengadakan pertemuan puncak tentang bumi (Earth Summit), di Rio de Janeiro, Brazil 1992, dihadiri wakil dari 179 negara. Inti pertemuan ini adalah membicarakan bagaimana memperdamaikan kegiatan sosial-ekonomi dengan kelestarian lingkungan alam dan berhasil menyepakati lima dokumen tentang: (a). Convention on Biological Diversity; (b). Framework Convention on Climatic change; (c). Principles of Forest Management; (d). Agenda 21; (e). The Rio Declaration on Environment and Development (Subagiyo, 2008).

b. Millenium Development Goal (MDG) adalah upaya dunia internasional untuk menanggulangi kemiskinan dan menjamin pembangunan berkelanjutan, telah ditandatanganinya oleh para kepala Negara dalam Deklarasi Milenium dengan nama atau tujuan pembangunan milenium yang bertujuan mengurangi setengah dari jumlah kemiskinan global pada tahun 2015.

c. Subagiyo, 2008:
1· Departemen Kehutanan RI: kerusakan hutan pada saat ini telah mencapai kondisi memprihatinkan, dimana laju kerusakan hutan tahun 1998-2000 telah mencapai 3,8 juta Ha/tahun. Sedangkan estimasi Forest Watch Indonesia (FWI) menyatakan laju kerusakan hutan tahun 2001-2003 telah mencapai angka 4,1 juta Ha/tahun. Jika dihitung dalam angka 2 juta Ha/tahun saja, berarti tiap menitnya kerusakan hutan telah mencapai 3 hektar atau sama dengan 6 kali luas lapangan bola (Subagiyo, 2008).

2· Berdasarkan hasil riset Oseanologi LIPI, kekayaan hayati laut Indonesia pada tahun 2005 tercatat tinggal 5,83% (kategori sangat baik), 25% (baik), 26,59% (sedang) dan 31% lainnya mengalami kerusakan. Sedangkan di sektor pertambangan cadangan mineral yang ada pada saat ini t hanya bertahan untuk 18 tahun ke depan.

3· Di sektor udara, hasil pengukuran kualitas udara di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Jambi, dan Pekanbaru, udara dalam kategori baik selama satu tahun hanya berkisar 22-62 hari atau 17 % saja. Kadar pencemar udara di kota-kota tersebut 37 kali lipat di atas standar yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). Implikasinya, sebagai contoh kualitas udara di Jakarta masyarakat dapat menghirup udara dengan kategori baik rata-rata hanya 22 hari dalam 1 tahun. Luas lahan kritis terus meningkat dimana pada tahun 2000 mencapai 23,2 juta hektar.

4· Pada tahun 1997-1998: kebakaran hutan dan lahan besar-besaran hingga berimbas sampai ke negara sekitar. Sejak saat itu, kebakaran hutan dan lahan terus berulang setiap tahunnya sampai saat ini.

5· Pada tahun 2000: longsornya overburden penambangan PT. Freeport Indonesia di Danau Wanagon, Irian Jaya (Papua) yang menyebabkan meluapnya material (sludge, overburden, dan air) ke Sungai Wanagon dan Desa Banti yang letaknya berada di bawah danau.

6· Tahun 2001: terjadi ledakan tangki PT. Petrokomia Gresik yang mengakibatkan terganggunya kesehatan warga sekitar.

7· Tahun 2002: banjir Jakarta yang hampir melumpuhkan seluruh aktivitas masyarakatnya serta terulang lagi dengan wilayah terdampak yang lebih besar di tahun 2007. Pada tahun 2003 publik dikejutkan dengan kejadian longsor di Mandalawangi-Jawa Barat.

8· Pada tahun 2004-2005: muncul permasalahan kebijakan pertambangan di hutan lindung dan kasus pencemaran Teluk Buyat. Pada tahun 2006 sederatan bencana lingkungan seperti banjir dan longsor terjadi di sejumlah daerah seperti Jember dan Banjarnegara. Masih di tahun yang sama, sektor industri juga menambah panjang permasalahan lingkungan hidup di Indonesia, seperti kasus semburan Lumpur Lapindo Sidoarjo maupun illegal dumping limbah B3 di Cikarang-Bekasi.

5. Metode
Menurut Soemarwoto (1986) yang dikutip oleh Nurjaya (2008), Inti permasalahan pengelolaan sumber daya alam adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekologi. Konsep sentral dalam ekologi disebut ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan alam lingkungannya (saling mempengaruhi dan dan saling ketergantungan satu dengan yang lainnya). Menurut ecosystem approach, ekosistem terbentuk oleh komponen sumber daya alam hayati maupun non hayati pada suatu ruang dan tempat, yang berinteraksi dan membentuk kesatuan yang teratur dan saling mempengaruhi, sehingga secara terintegrasi membentuk suatu sistem kehidupan dalam alam semesta ini. Terkait dengan hal ini, manusia adalah komponen makhluk hidup yang paling sentral dan krusial, karena manusia adalah bagian dari unsur makhluk hidup yang paling sempurna dibanding makhluk hidup yang lain (satwa dan tetumbuhan). Manusia memiliki hati nurani, dianugerahi kemampuan untuk berpikir, berkehendak, bersikap, berbicara, maupun bertindak dan berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia mengamati dan melakukan adaptasi serta memperoleh pengalaman, dan kemudian mempunyai wawasan tertentu tentang lingkungan hidupnya (enviromental image), yang menggambarkan persepsi manusia tentang struktur, mekanisme, dan fungsi lingkungannya, juga interaksi dan adaptasi manusia termasuk respons dan reaksi manusia terhadap lingkungannya. Pola berpikir inilah kemudian membentuk etika lingkungan (environmental ethic) dalam kehidupan manusia (lihat gambar 3, omitted).

Citra lingkungan dapat didasarkan pada ilmu pengetahuan seperti terpola dalam masyarakat ilmiah di negara-negara maju, (alam pikiran yang bercorak rasionalistik dan intelektualistik). Namun, dari sisi lain citra lingkungan lebih dilandasi oleh sistem nilai dan religi di negara-negara sedang berkembang. Karena itu, yang disebut pertama dikenal sebagai citra lingkungan masyarakat modern sedangkan yang disebut terakhir dikenal sebagai citra lingkungan masyarakat tradisional (Nurjaya, 2008).
Amandemen UUD 1945 di era reformasi telah mengamanatkan setidaknya dua perspektif penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup: (a). munculnya pengakuan terhadap keberlanjutan dan wawasan lingkungan dalam penyelenggaraan perekonomian nasional; (b). munculnya pengakuan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia sekaligus hak konstitusi dari warga negara. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban: (a). menghormati (to respect); (b). memenuhi (to fulfill); (c). melindungi (to protect) atas hak lingkungan sebagai HAM. Jadi Dua prespektif ini semakin mempertegas tanggungjawab pemerintah secara konstitusional untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari perwujudan HAM. Hal ini dipertegas pula dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (Subagiyo, 2008).

6. Kesimpulan
Pembangunan Indonesia yang diarahkan pada penerapan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjamin tercapainya pertumbuhan di bidang ekonomi, terjaganya kondisi sosial masyarakat dan lingkungan hidup.

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA


“Kemiskinan adalah ketakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas (Ravallion, 2001)”
“Ada desa-desa dimana posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup menenggelamkan mereka (Tawney, 1931)”
“Jika Anda memberikan ikan kepada seseorang, Anda memberinya makan untuk satu hari. Jika Anda mengajarnya menangkap ikan, Anda memberinya makan seumur hidup (pepatah Cina, WIM Poli, dkk, 2006: 20)

Premis:
Penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab semua pihak (pemerintah, organisasi sosial/swasta, dan masyarakat) yang diarahkan pada peningkatan taraf hidup ekonomi dan pendidikan serta pemberdayaan masyarakat.

1. Pendahuluan
Masalah kemiskinan bukanlah hal baru dalam sejarah kehidupan manusia di muka bumi. Kemiskinan telah ada sejak dahulu kala, dimana pada masa itu masyarakat menjadi menjadi miskin karena kurangnya kemudahan dan materi, bukan karena krisis pangan. Kemiskinan telah mempersempit ruang bagi masyarakat untuk memperoleh sebelas macam hak dasanya: pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan), pekerjaan yang layak, perlindungan hukum,rasa aman, kesehatan, pendidikan, partisipasi public dan politik, hak berinovasi, hak menjalankan hubungan spiritual dengan Tuhan serta hak berpartisipasi dalam pemerintahan (Sahdan, 2005).

Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena dampak krisis moneter yang berujung krisis ekonomi tahun 1997 sampai saat ini masih bergulat dengan persoalan kemiskinan. Sebelum krisis ekonomi, jumlah penduduk miskin Indonesia adalah 22,5 juta jiwa (1996) meningkat menjadi 49,5 juta jiwa tahun 1998 atau sekitar 24,23% dari jumlah penduduk Indonesia, dimana 31,9 juta jiwa pend9uduk miskin tersebut hidup di pedesaan dan sisanya 17,6 juta jiwa hidup di perkotaan (BPS 2006, Data diolah dari Survei Sosial Ekonomi, Susenas).

Jumlah penduduk miskin Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2005 mengalami penurunan dari 38,7 juta jiwa (19,14%) menjadi 35,1 juta jiwa (sekitar 15,97%). Namun angka ini meningkat menjadi 17,75% pada tahun 2006 meskipun mengalami sedikit penurunan pada tahun 2007 yaitu 16,58%. (BPS, 2006; Dep.Keu, 2008).

Grafik-grafik berikut (omitted) menunjukkan tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran dan pertumbuhan GDP di Indonesia selama tahun 2000 – 2006. Ketiga hal ini saling terkait dimana tingkat kemiskinan dapat disebabkan oleh tingginya tingkat pengangguran (lihat Singer and Jones, 1994) dan rendahnya tingkat pertumbuhan GDP.


Kondisi ini semakin diperparah dengan naiknya harga beras (33%) dan minyak mentah di pasar internasional yang menembus angka lebih dari $100/barrel (143%). Kelangkaan minyak tanah, gas elpiji, dan beras membuat rakyat semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, pelayanan kesehatan yang berakibat banyaknya anak-anak Indonesia yang menderita gizi buruk, bahkan berujung kematian. Sebut saja misalnya 1500 dari 200 ribu balita menderita gizi buruk di Yogyakarta, di Riau sebanyak 166.167 balita (33,3%) dari 499.000 balita menderita gizi buruk selama tahun 2007 dan serta kota-kota lainnya seperti di NTT, sejumlah propinsi di pulau Jawa dan Sulsel (terdapat 67 kasus gizi buruk) (Kurniawan, 2008).
Selain itu, kemiskinan juga menyebabkan banyaknya orang tua tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Ada tiga alasan utama anak-anak Indonesia tidak bersekolah: kurangnya dana orangtua (35,78%), mereka harus bekerja membantu orang tua (23,56%) dan sebanyak 15, 77% karena menikah (BPS, 2006). Kemiskinan juga menjadi alasan sempurna penyebab rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (Human Development Index, HDI). Laporan HDI 2004 (menggunakan data 2002) menunjukkan Indonesia berada di urutan ke-111 dari 177 negara dengan angka indeks 0,692 (Sahdan, 2005). Angka indeks HDI adalah komposit dari angka harapan hidup, tingkat melek huruf, jumlah partisipasi terhadap jenjang pendidikan (dasar – menengah – tinggi) serta GDP per kapita. Meskipun peringkat HDI Indonesia meningkat menjadi urutan 110 (tahun 2005), 108 (tahun 2006) dan 107 (tahun 2007), namun masih jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya, bahkan berada dua peringkat di bawah Vietnam tahun 2007.

Upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan pemerintah dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan lapangan kerja, pembangunan prasarana dan pendampingan, pembangunan sektor pertanian, pemberian dana bergulir, penyuluhan sanitasi, dan lain-lain. Namun, keberlanjutan upaya ini sangat bergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah karena semuanya berorientasi material. Dengan kata lain, kajian mengenai kemiskinan berdasar pada paradigma modernisasi (the modernization paradigm) dan the product centered model yang didasarkan pada teori pertumbuhan ekonomi (Gunawan dan Sugiyanto, 2004).

2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka rumusan masalah yang diajukan adalah: “Mengapa peningkatan taraf hidup ekonomi dan pendidikan serta pemberdayaan masyarakat dapat dijadikan sebagai langkah dasar dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia?

3. Tinjauan Pustaka
Menurut Nasikun (1995) yang dikutip oleh Gunawan dan Sugiyanto (2004), kemiskinan adalah sebuah fenomena multidimensional dimana hidup miskin diartikan tidak hanya hidup kekurangan dalam hal papan, sandang dan papan tetapi juga berarti akses yang rendah terhadap bermacam sumberdaya dan asset produktif yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan yang paling dasar tersebut. Kemiskinan menurut BPS, adalah kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2100 kalori/kapita/hari. Kemiskinan dapat pula diartikan sebagai kondisi dimana tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1/hari (World Bank). Menurut BAPPENAS (2002), kemiskinan adalah suatu kondisi yang dialami oleh seseorang/ kelompok orang yang tidak mampu menjalankan hidupnya sampai suatu taraf yang dipandang manusiawi (Sumedi dan Supadi, 2004). Kemiskinan dapat pula diartikan sebagai: (a). lacking of both money and basic necessities needed to successfully live such as food, water, education and shelter, (b). the economic condition of lacking predictable and stable means of meeting basic life needs. (Hasanuddin, 2008).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan dibedakan dalam empat dimensi: (a). dimensi ekonomi: ketidakmampuan mansyarakat memenuhi kebutuhan dasarnya akibat rendahnya penghasilan (lack of choice); (b). dimensi politik: rendahnya kemampuan berpartisipasi dalam politik (lack of voice); (c). dimensi sosial: rendahnya status sosial dalam masyarakat (lack of status); (d). dimensi psikologis: rendahnya rasa percaya diri (lack of self-confidence) (WIM.Poli, dkk, 2006: 81). Karenanya, ciri-ciri masyarakat miskin adalah: (a). minimnya akses politis dalam proses pengambilan keputusan terkait hidup mereka, (b). tersingkir dari lembaga sosial masyarakat yang utama, (c). rendahnya kualitas SDM, kesehatan, pendidikan, keterampilan yang berpengaruh terhadap rendahnya penghasilan secara ekonomi, (d). memiliki budaya/nilai etos kerja yang rendah, berpikir praktis dan fatalism, dan (e). minimnya kepemilikan aset fisik, seperti aset lingkungan hidup (air bersih dan penerangan).
Menurut Valeriana Darwis (2004), faktor penyebab kemiskinan dapat dibagi dua: faktor internal (SDM dan SD fisik), dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keluarga miskin rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah (tidak tamat SMP). Terkait dengan SD fisik, sebagian besar respondennya memiliki kondisi rumah yang jauh dari layak untuk ukuran kesehatan ideal. Selain itu hasil risetnya menunjukkan bahwa penduduk miskin memiliki lahan pertanian yang kecil (0,16 ha) bahkan banyak diantaranya hanya sebagai petani penggarap. Faktor kedua adalah faktor eksternal (potensi/keadaan wilayah, sarana/prasarana, kelembagaan, aksesibilitas terhadap: produksi, modal, pasar dan faktor ekonomi lainnya), dimana hasil riset ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk yang berkategori miskin hidup dalam wilayah yang kurang potensial dan memiliki akses yang rendah terhadap faktor-faktor ekonomi yang mendukung mereka untuk hidup cukup.
4. Fakta
a. Data kemiskinan:

1. Menurut data (BPS, 2006), tingkat kemiskinan di Indonesia pernah mengalami penurunan dalam kurun waktu 20 tahun (1976 – 1996) yaitu dari 40,1% menjadi 11,3% sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia. Setelah krisis, prosentase penduduk miskin semakin meluas (lihat grafik 2) bahkan hingga mencapai 16,58% (2007) dari total penduduk Indonesia (Depkeu, 2008).
2. 87 % dari masyarakat miskin memiliki kepala rumah tangga dengan pendidikan SD; 60% diantaranya hidup dari sektor pertanian; 75% hidup di pedesaan, 61% hidup di pulau Jawa; serta wilayah paling miskin tersebar di Kawasan Timur Indonesia. (Susenas, 1999).
3. Kesenjangan jender: tingkat buta huruf perempuan 20%, lebih tinggi daripada laki-laki yang hanya 9%; 71% dari kategori pekerja yang tidak dibayar adalah perempuan; hanya 7% dari pejabat dan manajer senior adalah perempuan; keterwakilan perempuan pada sektor politik masih rendah (10% dari anggota DPR)(Susenas, 1999;UNDP, 1999; World Bank, 2000).

b. Kegagalan berbagai program pemerintah (Sahdan 2005):
1. Program-program:
Ø Kredit Usaha Tani (KUT) dengan plafon Rp. 8,4 triliun tahun 1998 gagal karena tidak benar-benar memberdayakan masyarakat sehingga per September 2000 tunggakan KUT mencapai Rp. 6,169 triliun (73,69%) dari realisasi kredit.

Ø Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang pada tahun 2004 berhasil, tetapi gagal karena bank sulit menyalurkan kredit dan petani sulit membayar bunganya.

Ø Program Pengembangan Kecamatan (PPK) bertujuan mengurangi kemiskinan gagal karena perencanaan yang tidak matang, kurangnya transparansi alokasi dan penggunaan anggaran kepada masyarakat desa.

Ø Program Padat Karya Desa – Pengembangan Wilayah Terpadu (PKD – PWT) di NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, NTB; gagal karena proses perencanaan, pelaksanaan dan penyaluran bantuan sangat tergantung pada TPD (Tim Pelaksana Desa).

2· Subsidi (BBM, pupuk, dll) pemerintah tidak efektif membantu masyarakat lepas dari kemiskinan karena justru dinikmati oleh orang-orang kaya.

c. Program pemerintah setelah krisis ekonomi (Depkeu, 2008):
1. Anggaran program kemiskinan dalam APBN yang meningkat dari tahun ke tahun, seperti digambarkan grafik berikut (omitted): 28 triliun rupiah (2004) menjadi 53 triliun rupiah (2008).

2· Alokasi anggaran 2008 Rp. 5,22 triliun meliputi: (a). Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat dan PNPM pedesaan = Rp. 3, 59 triliun untuk 2.389 kecamatan (2007 = Rp. 1,45 triliun); (b). Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah/ Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) = Rp. 685,4 miliar untuk 955 kecamatan (2007 = Rp. 1,48 triliun); (c). Program Keluarga Harapan = Rp. 939,7 miliar untuk 700 ribu rumah tangga sangat miskin (RTSM) (2007 =Rp. 720,1 miliar).

3· Peningkatan Akses Pendidikan bagi penduduk miskin: (a). BOS Rp. 12,6 triliun untuk 41, 9 juta siswa (2007 = Rp. 10,4 triliun untuk 35,2 juta siswa); (b). Beasiswa untuk siswa miskin Rp. 2,25 triliun untuk 1,8 juta siswa SD-SMP, 650 ribu siswa MI-MTs, 732 ribu siswa SMA, 210 ribu siswa MA, dan 210, 6 ribu mahasiswa PT-PT agama.

4· Peningkatan akses kesehatan bagi penduduk miskin (Askeskin): (a). Pelayanan kesehatan di Puskesmas Rp. 1 triliun untuk 76,8 juta RTSM (2007 = Rp. 1 tirliun untuk 76,8 juta RTSM); (b). Pelayanan kesehatan kelas III Rumah Sakit Rp. 3,7 triliun untuk 76,8 juta RTSM (2007 = Rp. 2,4 triliun untuk 76,4 juta RTSM).

5· Subsidi yang pro poor: (a). Subsidi pangan Rp. 6,6 triliun untuk 19,1 juta rumah tangga miskin (2007 = Rp. 6,6 triliun untuk 15,8 juta RTM); (b). Subsidi bunga kredit Rp. 2,1 triliun (2007 = Rp. 1,6 triliun) untuk kredit ketahanan pangan (KKP), KPRSh, kredit energi alternative, kredit bunga untuk pengusaha NAD; (c). Subsidi minyak goreng Rp. 600 miliar (2007 = Rp. 325 miliar).

6· Peningkatan akses berusaha: (a). Credit scheme untuk UMKM melalui kredit pedesaan BRI; (b). Pemberdayaan UMKM dengan perbaikan akses kepada sumber-sumber keuangan, memperluas pasar bagi produk-produk UKM dan reformasi regulasi

5. Metode:
Penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan melalui:

a. Program penyelamatan
Program penyelamatan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah seperti JPS (di bidang pendidikan, pangan, kesehatan dan sosial) tetap diperlukan untuk mengatasi kemiskinan pada tahap awal (Sumedi dan Supadi, 2004), tetapi hal itu hanya bersifat temporer (WIM Poli, 2008).

b. Program penciptaan lapangan kerja
Usaha penciptaan lapangan kerja di segala bidang yang dapat membantu masyarakat keluar dari kemiskinan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga perusahaan swasta, organisasi sosial (LSM) dan masyarakat sendiri. Perusahaan misalnya, melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) melakukan mitra usaha dengan pengusaha kecil sehingga dapat berkembang dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Contohnya, Pertamina dengan mitra usaha perajin batik tanah liek (Bu Hj. Wirda Nahim) di Sumatera Barat (Smile, Metro TV, 2008). Juga usaha seorang penyandang cacat, Muhammad Junaid yang memberdayakan penyandang cacat untuk mandiri dengan melatih dan mendidik mereka untuk mandiri dengan usaha menjahit dengan dana pribadi (Kick Andy, Metro TV, 2008) adalah realitas peran serta masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan.

c. Program pemberdayaan
Program pemberdayaan dalam jangka pendek untuk mengatasi krisis, pembangunan prasarana, penanggulangan kemiskinan di perkotaan, program kemandirian ekonomi rakyat, program kredit usaha keluarga sejahtera, dan sebagainya yang selama ini dilakukan pemerintah harus tetap dilanjutkan untuk menanggulangi kemiskinan (Sumedi dan Supadi, 2004).
Pemberdayaan harus meliputi semua aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, sosial, budaya dan politik), karena persoalan kemiskinan adalah persoalan multidimensional (Mujiran, 2003).
Pemberdayaan yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhannya tanpa menghambat pemenuhan kebutuhan generasi masa depan, di dalam konteks sosial-budaya, di antara keluarga bangsa dan bangsa-bangsa yang bermartabat, sehingga dapat terlepas dari empat dimensi kemiskinan (WIM Poli dkk, 2006:81; WIM Poli, 2008).

Hal ini dapat dilihat pada kasus Grameen Bank dimana Muhammad Yunus memberdayakan masyarakat miskin di Bangladesh dengan mendirikan sebuah bank yang berpihak pada kaum miskin. Di Indonesia, hal yang sama dilakukan oleh Bupati Jayapura (Habel Melkias Suwae, S.Sos, MM) yang memberdayakan masyarakat asli Papua melalui Program Pemberdayaan Distrik dengan melaksanakan tiga prinsip pemberdayaan masyarakat lokal: (a). Community-oriented, (b). Community-based, dan (c). Community-managed (WIM Poli, dkk, 2006: 89).
Di bidang pendidikan, pemberdayaan ini juga dilakukan oleh seorang Elizabeth di wilayah Kemang, Jakarta Selatan yang membuka kelompok bermain dan TK Pelangi untuk anak-anak miskin berumur 3 – 5 tahun tanpa dipungut bayaran. Di bidang kesehatan, terdapat tiga entrepreneur muda (Andy Lim, Vanessa Wen dan Prasetya Boogie) yang mendirikan Yayasan Untaian Kasih bagi anak-anak penderita kanker yang kurang mampu (Oasis, Metro TV, 2008).

Pemberdayaan (WIM Poli, 2006, 2008) ini tidak hanya ditujukan pada faktor fisik yang nampak tetapi juga pada faktor moral yang tidak nampak, seperti modal sosial (hubungan antar masyarakat), modal spiritual intelligence (nilai-nilai agama), pembentukan perilaku yang kesemuanya harus dilakukan sejak usia dini. Sikap keberpihakan pada sesama yang kekurangan yang diwujudkan dalam tindakan nyata adalah buah dari nilai (moral dan agama) yang dianut dan kesetiaan manusia untuk mendengar suara hati yang mampu melihat sesuatu hal dengan mata, hati dan semangat orang lain (Stephen R. Covey dalam WIM Poli, dkk, 2006: 39).

6. Kesimpulan
Penanggulangan kemiskinan adalah tanggung jawab semua pihak, pemerintah, organisasi sosial dan swasta, masyarakat dengan peningkatan taraf hidup ekonomi, peningkatan mutu pendidikan serta pemberdayaan masyarakat. Langkah pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan yang selama ini bersifat top-down sudah saatnya dirubah karena terbukti menemui kegagalan dalam implementasinya. Perumusan strategi penanggulangan kemiskinan harus mengakomodasi suara rakyat yang menderita kemiskinan (bottom-up) agar program yang dijalankan tepat sasaran dan berkelanjutan.

Pemberdayaan masyarakat dalam arti seluas-luasnya perlu terus digalakkan oleh semua pihak di semua aspek kehidupan masyarakat dengan menitikberatkan pada upaya mengubah tata nilai dan perilaku masyarakat sejak usia dini. Usaha pemberdayaan ini dilakukan dengan membangun faktor yang nampak (fisik) dan mengembangkan faktor yang tidak nampak, seperti budaya lokal masyarakat setempat, nilai-nilai moral dan agama.

Monday, August 4, 2008

Get what you want - every time...

Sail through all kinds of sticky situations with several tips on being more assertive...

  • keep it simple : 'just be direct!' urges Deborah May, an executive coach. Talking too much seems 'indecisive and wishy-washy'. People get confused by lots of words and the message gets lost. State your request simply and without apologising (according to one study, women do three times more often than men). She says, 'women use 'sorry' as a gap filler, but men can interpret this to mean you're always making mistakes.'

  • get serious : smiling is the worst thing you can do when you're angry. Deborah May says, 'it's confusing and undermines your credibility'. Women often smile while delivering bad news to soften the blow. Meanwhile, if someone flies off the handle, remember that ' the power is in staying calm' and not interupting. Many women confuse being assertive with being angry, and their response can quickly escalate from submissive to aggressive.

  • be honest : 'don't make execuses'. As soon as you start doing that, your boss will start trying solve your problems for your. Instead, as Deborah May recommends, 'calmly explaining you're unavailable and offeirng alternative solution to the problem. If your boss insistent, a good trick is simply repeat that you're not available - without making any execuses or apologies as to why you can't do what he/she wants you to do...

it's worthwhile to try them when facing such sittuations...

what to do before walk away....

Thinking of quit your current job?
Studies show that almost half of us feel unhappy at work - but is it really time to quit?
Here few things to consider before you throw in the towel (Marie Claire, August 2008):

  • Pinpoint the problem : According to Dr Glyn Brokensha, a workplace psychoterapist that sometimes the real problem lie outside the office... a lot of people who say they are dissatisfied with their jobs are actually dissatisfied with other areas of their lives, such as their relationships and so on.

  • Write down the pros and cons : before handing in your resignation, it's time to put pen to paper, make a list of the five qualities that you most and least want in any job, Dr Brokensha advises. Do you crave a more creative role, or do you value a work-life balance? Comparing these criteria to your current job will help you to identify exactly what's going wrong - and whether you need a major career change or to simply tweak the role you're already in.

  • Take control and have a purpose : research has shown that the more control workers have over their jobs, the happier they are. Feeling like you have an autonomy can triple your risk of depression. To combat this, Jim Bright, a career specialist recommends reassessing your work - from your progress to your prospects - every three months. This will help you stay motivated. Alternatively, Dr Brokensha suggests taking on more responsibilities.

  • Talk to your boss : there's no point in searching for a new job if you haven't considered the opportunities right under your nose. Jane Lowder, a career coah of Max Coaching, advises: approach your boss early, often they're the last t know if their employees are unhappy and they're the ones most capable of accommodating your needs. Many employers are happy to fund external or in-house training.

So...hope they're help you...

Friday, August 1, 2008

Macroeconomics....

Now let's talk about macroeconomics. Actually, this is the way I study it by summarizing the well known Macroeconomics books, one of them is written by Rudiger Dornbursh and Stanley Fischer, fifth edition, McGraw-Hill Publishing Company. The first author is from Department of Economics, Massachusetts Institute of Technology and the second one is from the World Bank and the same department with Dornbursch. So....let's start by seeing what are its contents....

A. Part I
  1. Introduction
  2. National Income Accounting
  3. Income and Spending
  4. Money, Interest, and Income
  5. Fiscal Policy, Crowding Out, and the Policy Mix
  6. International Linkages
  7. Aggregate Supply and Demand: An Introduction

B. Part II

  1. Consumption and Saving
  2. Investment Spending
  3. The Demand for Money
  4. The Fed, Money and Credit
  5. Stabilization Policy: Prospects and Problems

C. Part III

  1. Aggregate Supply: Wages, Prices, and Employment
  2. Inflation and Unemployment
  3. The Ttradeoff between Inflation and Unemployment
  4. Budget Deficits and the Public Debt
  5. Money, Deficits, and Inflation
  6. The MAcroeconomics: The Interaction of Events and Ideas
  7. Long - Term Growth and Productivity
  8. International Adjustment and Interdependence

Next... here its contents....

A. Part I

1. Introduction

There have long been two main intellectual traditions in macroeconimics, which caused a debate between monetarists (led by Milton Friedman) on one side and Keynesians (led by Franco Modigliani and James Tobin) on the other side, in the 1960s -about the statement that markets work best if left to themselves or the statement that government intervention can significantly improve the operation of the economy. In the 1970s, the debate on much the same issues brought to the fore a new shool of thought, i.e. the new classical macroeconomists. This group - which is developed in the 1970s and remained influential in the 1980s - led by Robert Lucas, Thomas Sargent, Robert Barro, Edward Prescott and Neil Wallace ( the university of Minnesota) and shared many policy views with Friedman. The group sees the world as one in which individuals act rationally in their self-interest in markets that adjust rapidly to changing conditions and the government intervention only make things worse. There are three central working assumption of this school of thought:

  • economic agents maximize, where households and firms make optimal decisions, which means that all available information is utilissed in reaching the best possible decisions in the circumtances in which agents find themselves.
  • decisions are rational and are made by using all the relevant information. Expectations are rational when they are statistically the best predictions of the future that can be made using the available information. That is why this group is sometimes called as the rational expectations school of thought, though rational expectations is only a part of the theoretical approach of the new classical group.
  • markets clear, accordingly prices and wages adjust in order to equate supply and demand.

While... the New Keynesians....

which includes George Akerlof and Janet Yellen (the university of California - Berkeley), Olivier Blanchard (MIT), Greg Mankiw ans Larry Summers (Harvard University) and Ben Bernanke (Princeton University) - argue that sometimes, markets don't clear even when individuals are lookingg out for their own interests. Both informationa problems and costs of changing prices lead to some price rigidities and, as a result, create a possibility for macroeconomic fluatuationd in output and employment.

What about GNP?... what does it mean?... we'll discuss further in the next section...

The growth rate of the economy is the rate at which real GNP is increasing.

Let's first see reasons for the growth of real GNP, as follows:

  • changes in the available amount of resources (capital and labor) in the economy. These two resources are used in the process of production of goods and services . Increases in the availability of these production factors - thus account for the increase of real GNP.
  • changes in the efficiency with wwhich production factors work.

how about empolyment and unemployment...?

The unemployment rate is the fraction of the labor force that can't find jobs.

inflation rate, the growth rate, and the rate of unemployment are the three measurement of macroeconomic performance .

When inflation occurs, the prices of goods increase and also when inflation happens - it is sometimes associated with the disturbances to the economy - make it unpopular.

When the rate of growth is high, there is an increase in production of goods and services, leads an increase of standard of living, to lower unemployment rate and economy provides more jobs available for society.

but...

when the unemployment rate is high, jobs will difficult to find. the unemployed suffer a loss in their standard of living, personal distress, and sometime a lifetime deterioration in their career opportunities.

now...let's talk about the business cycles and the output gap...

Those three measurement mentioned above are closely related through to business cycle.

What is the business cycle anyway....?

The business cycle is the more or less regular pattern of expanssion (recovery) and contraction (recession - mild impact and depression - if severe ones) in economic activity around the path of trend growth; at a cyclical peak, economic activity is high relative to trend , and at a cyclical trough, the low point in economic activity is reached.

The trend path of GNP is the path GNP would take if factors of production were fully employed.

Then ... the output gap....

it measures the gap between actual output and the output that economy could produce at full employment given existing resources.

Full-employment is also known as potential output. So ...

output gap = potential output - actual output

It also measures of size of the cyclical output deviates from potential or trend output

So far... we've learnt some terms of macroeconomics...

Let's stop here for you (and ofcourse especially me...) to have a chance digesting them....

Tuesday, July 22, 2008

Working out what to keep, store and bin...

Kalau lagi beres-beres rumah, seringkali kita bingung memutuskan barang mana yang mau disimpan, mana yang mau dibuang...pusyiiiiingg...(kata Peggy MS)
Serasa semua barang penting dan berguna... he...he...he...

Nah, berikut ini beberapa tips buat ibu-ibu (terutama buat aku nih...) tentang benah berbenah 'sampah' yang disarikan dari majalah Notebook, edisi May 2007:

  • have a plan : you can start by looking at the areas you need to reorganise and then work out how long it will take to deal with each one. If you can not do it all in one go, set aside, say 20-30 minutes each day (or a day in a week or a couple of hours on the weekend).
  • before you begin : make sure you have a plenty of rubbish bags (to throw away) ;-O, cardboard boxes (to store), packing tape and markers handy.
  • be ruthless : when it comes to deciding what to keep, ask yourself: do I use? do I really really need it? do I love it? then divide the items you are prepared to throw out into two piles - one for the garbage and the other for charity (you can wash, launder and repair any items for charity).
  • categories: once you have identified things you intend to keep, divide them into three categories: a. things you use everyday (need to be stored in handy and in an easy-to-reach-position); b. things you use occasionally ; and c. those you use rarely (these two categories are lesser-used so need to be stored in out-of-the-way-places such as on top cupboards or under beds).
  • don't make clutter out of clutter: get rid of it straight away - take it to the tip or charity shops/institutions rather-than storing it neatly in the garage.
  • preventative measures: to ensure the clutter does not 'pile up' again, dedicate five minutes a day to dealing with incoming paperwork, look at your clothes every six months and appraise howares annually. Open the mail over the bin, sort out the kicthen drawer while you wait for the kettle to boil, and have permanent spot in the home for things to donate.

So...it is all about training yourself into a few good habits...

Selamat berbenah.... ;-)

Friday, July 18, 2008

speaking - talking in public

Sometimes it's quite 'hard' to speak in front of a group of people (seminars, public discussion, etc) even when facing an interviewer of job seeking or for applying scholarship. There is, however an art to speaking in public like a pro....

According to David Meagher (author of It's Not Etiquette), in realliving, jan/feb 2008, there are some tips can be applied to speak confidently, as follows:

a. fall - back position; it means that you should not dominate the conversation, no matter how interesting you are. This is, particularly, important in a small group situation. When talking with someone more important, start the conversation formally, which means that do not try too smart or personal. Furthermore, if the speaking takes place in a number of people, find out in advance what kind of occasion it is and how it will be structured.

b. taking it to the next level; this would mean that you need to know your material really well. You know what you are going to say. You can improve your speaking by practising pausing so your words do not come out in rush. One thing you can also do is take a deep breathe, as this can make you calm down.

c. confidence tricks; there are some 'factors' that can support your speaking in public confidently; i.e. a). clothes, as comfortable and suitable clothes give you the best start possible; b). posture; fake confidence if you have to, relax your shoulder down and push back a little, keep your chin up, breathe slowly and talk 'tall'; c). smile, by making your whole face grin.

d. talk to anyone; when talking to anyone else, either in groups or one-to-one conversation, you should keep maintain eye contact, which shows your interest. Also, you need to listen (be attentative), as the more you listen and ask question the more others will find you interesting...

e. stance is important; open hand/arm gestures welcome people to ypur point of view.

f. last but not least; be sharp and succint deliveries is best.


So....have a practise and.... good luck... ;-)